Masyarakat seringkali dikejutkan peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) Pejabat. Hal ini menambah panjang praktik korupsi melalui penyalahgunaan jabatan-- di lingkungan pemerintahan.
Praktik korupsi sudah sangat meresahkan kehidupan masyarakat dan negara. Pasalnya, praktik tersebut telah mewabah di segala lini. Berbagai upaya pencegahan pun terus dilakukan, tapi nyatanya tindak korupsi tetap saja tumbuh subur. Ditangkap satu tumbuh seribu. Korupsi bagaikan jamur yang tumbuh subur setelah diguyur hujan.
Korupsi di Zaman Nabi
Suatu hari, Ibnu al-Lutaibah seorang petugas zakat datang menghadap Rasulullah SAW melaporkan dan menyerahkan hasil penarikan zakat dengan mengatakan: Ini untukmu, dan yang ini telah dihadiahkan kepadaku!
Rasulullah SAW seketika tersentak mendengar laporan inventaris dan keuangan zakat dari amil beliau yang berasal dari suku Uzdi ini. Dengan penuh geram dan heran Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar seraya mengatakan: Ada apa gerangan seorang petugas yang kami utus untuk menjalankan suatu tugas lalu mengatakan: Ini untukmu (wahai Rasulullah), dan yang ini telah dihadiahkan untukku! Kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu ia melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak?
Lanjutnya, Demi Tuhan yang jiwa kalian berada di tangan-Nya, bahwa tiada yang membawa sesuatupun dari hadiah-hadiah tersebut kecuali ia akan membawanya sebagai beban tengkuknya pada hari kiamat. (HR Imam Ahmad).
Rasulullah SAW sangat geram terhadap perilaku Ibnu al-Lutaibah yang telah menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Di kalangan masyarakat hal ini biasanya disebut dengan berbagai istilah, seperti money politics, uang sogok, uang kompromi, uang pelicin, dan sebagainya, tetapi esensinya sama yaitu suap (risywah).
Menurut al-Fayumi, suap adalah pemberian seseorang kepada hakim atau yang lainnya supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi melakukan apa yang diinginkan oleh yang memberi.
Suap identik dengan memakan harta secara yang batil. Karena itu, “Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 188).
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Haitsami berkata, Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mengetahui hal itu tidak halal bagi kalian.
Rasulullah SAW sangat mengecam kepada para penyuap, penerima, penghubung dan siapa saja yang terlibat dalam proses terjadinya suap. Rasulullah melaknat penyuap dan orang yang menerima suap. (HR Abu Daud). Dalam hadis yang lain, Nabi SAW melaknat penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR Hakim).
Mencegah Korupsi
Islam memberikan solusi terbaik dalam upaya pencegahan tindak korupsi. Tindak korupsi merupakan salah satu bentuk kemungkaran yang harus segera dihentikan. Jika tidak dihentikan, tindak korupsi akan merusak tatanan kehidupan, bahkan dapat menghancurkan bangsa berkeping-keping.
Terkait pencegahan berbagai tindak kemungkaran (termasuk korupsi), Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihat sebuah kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu tingkatan iman yang paling lemah.” (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut, Nabi SAW memberikan solusi tahapan dalam pencegahan berbagai bentuk kemungkaran, termasuk tindak korupsi. Jika tahapan ini dilakukan secara bersama, akan dapat menghentikan tindak korupsi di negeri ini.
Pertama, mencegah dengan tangan. Dalam kitab al-Wafi fi Syarhil Arbain an-Nawawiyah dijelaskan, hukumnya fardhu ain menghentikan kemungkaran berlaku bagi seseorang yang mengetahuinya, dan ia mampu untuk menghentikannya. Atau, jika yang mengetahui kemungkaran itu masyarakat banyak, tapi hanya satu orang yang mampu menghentikannya, maka hukum menghentikan kemungkaran itu fardhu ain bagi orang tersebut.
Akan tetapi, jika menghentikan kemungkaran dengan tangan itu akan lebih efektif jika diperankan oleh penegak hukum, menghentikan kemungkaran itu menjadi fardhu ain bagi penegak hukum. Artinya, jika penegak hukum tidak serius menghentikan kemungkaran (korupsi), apalagi malah melindunginya, penegak hukum itu berdosa.
Kedua, mencegah dengan lisan. Jika suatu kemungkaran diketahui oleh lebih dari satu orang, kewajiban menghentikan kemungkaran itu menjadi fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian mereka telah menunaikan kewajiban itu, kewajiban itu menjadi gugur bagi yang lainnya. Apabila sebagian orang itu tidak mampu menghentikan, mereka berkewajiban melaporkan pada penegak hukum. sehingga menghentikan kemungkaran bagi penegak hukum menjadi fardhu ain.
Ketiga, mencegah dengan hati. Ini merupakan tingkatan iman yang paling rendah (adh'afu al-iman). Karena itu, mengingkari setiap kemungkaran melalui hati merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mengetahuinya. Jika ia tidak mengingkarinya, pertanda hilangnya iman dari hati.
Mencegah kemungkaran, termasuk korupsi, menjadi kewajiban bersama. Sebab, kemungkaran yang terorganisasi akan dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisasi. Dan, hanya dengan ketegasan dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku dan yang terlibat dalam tindak korupsi, maka budaya penyalahgunaan jabatan akan dapat dikendalikan. Wallahu alam.
Pengirim: Imam Nur Suharno, Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat.