REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat Sosial Politik, Saiful Mujani, mengkritisi pemerintah yang semakin memberi tempat bagi aturan-aturan syariat di ruang publik. Dia mengatakan dengan banyaknya aturan syariat di Indonesia maka sila pertama, Ketuhanan yang Maha-Esa hanya berlaku bagi agama Islam saja.
Hal ini dia sampaikan dalam program Bedah Politik episode “Ketuhanan Maha Esa Hanya Menurut Islam?” di kanal Youtube SMRC TV, pada Kamis, (14/7/2022). Saiful melihat bahwa Pancasila, khususnya sila pertama, Ketuhanan yang Maha-Esa, sering dijadikan dasar bagi proses syariatisasi tersebut
"Ini membuat sila pertama Pancasila kehilangan kemampuan untuk menampung keragaman agama yang ada di Indonesia," katanya.
Saiful menjelaskan pada dasarnya Pancasila adalah hasil pergumulan antara dua kubu, yakni kubu nasionalis dan Islam.
Pergumulan ini kemudian melahirkan satu kesepahaman yang tertuang dalam konsep Ketuhanan yang Maha-Esa. Dimana sila pertama Pancasila sering dijadikan rujukan dalam perbincangan maupun pembuatan kebijakan publik.
Dalam hal ini, menurut dia, negara mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan sila ini. Dengan demikian, Saiful menanyakan apa yang dimaksud dengan Ketuhanan yang Maha-Esa bagi masyarakat secara umum?
"Apakah Ketuhanan yang Maha-Esa itu menjamin pluralisme keagamaan, keragaman agama, atau memperlakukan agama secara setara oleh negara? Apakah di masyarakat, pemahaman mengenai kesetaraan agama dalam rangka pluralisme keagamaan itu cukup besar atau tidak?," ujarnya.
Saiful menjelaskan temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), pada Mei 2022. Dalam survei itu melacak seberapa setuju atau tidak setuju masyarakat dengan tiga pendapat yang muncul mengenai sila pertama Pancasila.
Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia harus berdasar pada Ketuhanan yang Maha-Esa sebagaimana diyakini oleh pemeluk agama Islam. Dia mengungkapkan yang setuju atau sangat setuju dengan pandangan ini sebanyak 44,4 persen.
Sementara yang tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pandangan tersebut, sebesar 51,7 persen. Masih ada 3,9 persen yang tidak menjawab. "Masih cukup besar di dalam masyarakat yang melihat Ketuhanan yang Maha-Esa tidak cukup jadi dasar sebuah pluralisme dalam kehidupan beragama di Indonesia," katanya.
Karena, jelas Saiful, mereka meyakini Ketuhanan yang Maha-Esa itu sebagaimana agama yang dianutnya, bukan sebagai yang dianut oleh semua agama.
Apalagi ada di dalam masyarakat yang memahami Ketuhanan yang Maha-Esa itu harus sesuai dengan ajaran, pemahaman, atau keyakinan yang ada dalam agama Islam.
“Kalau ada perbedaan antar-agama, harusnya perbedaan itu bisa diakomodasi negara. Tidak boleh ada yang satu agama yang lebih daripada yang lain,” kata pendiri SMRC ini.