REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergei Lavrov mengatakan, Rusia mendukung upaya junta Myanmar untuk menstabilkan negara selama pembicaraan dengan para jenderal tinggi Myanmar, pada Rabu (3/8/2022). Sebelumnya junta kembali memperpanjang masa darurat negara dengan alasan ketidakstabilan yang tengah terjadi di negara yang dilanda krisis politik itu.
"Kami bersolidaritas dengan upaya (oleh junta) yang bertujuan menstabilkan situasi di negara ini," kata Sergei Lavrov selama pembicaraan di ibu kota Myanmar, Naypyidaw dikutip laman Channel News Asia.
Rusia adalah sekutu utama dan pemasok senjata junta. "Tahun depan, Anda akan mengadakan pemilihan legislatif dan kami berharap Anda sukses membuat negara Anda lebih kuat dan lebih sejahtera," kata Lavrov merujuk pada usulan pemilihan Agustus 2023 oleh junta.
Kepala Junta Myanmar menyalahkan ketidakstabilan yang membuat upaya perdamaian yang disepakati keluarga Asia Tenggara atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terhambat. Pemimpin Junta Min Aung Hlaing mengatakan, bahwa Myanmar telah berusaha untuk mengatasi tantangan pandemi virus corona. Keadaan ini ditambah dalam menghadapi kekerasan internal.
"Jadi sulit untuk mengimplementasikan konsensus ASEAN karena kurangnya stabilitas," kata Min Aung Hlaing belum lama ini.
Sementara itu Lavrov dijadwalkan melakukan perjalanan ke pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Kamboja. Myanmar sendiri diundang hanya pada tingkat non political.
Kunjungan Lavrov dilakukan setelah junta memicu kemarahan internasional ketika mengumumkan telah mengeksekusi empat tahanan, termasuk seorang mantan anggota parlemen dan seorang aktivis demokrasi. Ini adalah penggunaan hukuman mati pertama di negara itu dalam beberapa dasawarsa.
Sementara itu ASEAN semakin frustasi atas kurangnya kemajuan Myanmar dalam rencana perdamaian lima poin yang disepakati tahun lalu. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen sebagai ketua ASEAN saat ini memperingatkan Myanmar terhadap hukuman gantung lebih lanjut. Dia mengatakan bahwa negara-negara regional ASia Tenggara kecewa dan terganggu dengan eksekusi mati tersebut. Menurutnya penggunaan hukuman mati lebih lanjut akan berarti memikirkan kembali rencana perdamaian lima poin.