REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang
Kata etika, moral, dan akhlak secara umum mempunyai arti yang hampir sama sehingga sering digunakan secara bergantian dalam komunikasi sehari-hari. Yunahar Ilyas di dalam bukunya Kuliah Akhlaq (hlm. 3) membedakannya berdasarkan sumber yang dijadikan tolok ukur. Etika bersumber pada pertimbangan akal (pemikiran). Moral bersumber pada adat istiadat yang umum berlaku di masyarakat. Akhlak (bagi umat Islam) bersumber pada Alquran dan Alhadis.
Dari sudut pandangan tertentu ada kesamaan antara etika, moral, dan akhlak. Kesamaan ketiga-tiganya terdapat pada perwujudannya dan unsur utamanya. Semua terwujud secara spontan; tidak melalui proses berpikir lebih dahulu karena sudah terinternalisasi. Unsurnya berupa nilai baik-buruk.
Di dalam kajian ini, kata akhlak yang digunakan karena sumber rujukan utamanya adalah kedua kitab itu. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamka sebagaimana terdapat di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 6809-6815). Beliau menjelaskan bahwa salah satu adab sopan-santun terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mendahulukan Allah Subhnahu wa ‘Taala dan Rasul-Nya, bukan pemikiran sendiri. Demikianlah tafsirnya terhadap ayat: 1 surat al-Hujurat (49) berikut.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Islam sangat mengutamakan akhlak. Sebelum Nabi Muhammad shallallahu a’alaihi wasallam menyampaikan risalah tentang ibadah, beliau menyampaikan risalah akidah dan akhlak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya
“Sesungguhnya, aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR al-Baihaqi)