Selasa 23 Aug 2022 19:31 WIB

Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Indikasi Kenaikan Harga BBM Subsidi dan Nonsubsidi

Jika BBM subsidi naik 30 persen, BI diperkirakan akan kembali menaikan suku bunga.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (22/8/2022). Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kendaraan mengantre saat mengisi BBM jenis Pertalite di salah satu SPBU di Jakarta, Senin (22/8/2022). Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) jadi indikasi pemerintah akan menaikkan harga BBM. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan bisa untuk BBM subsidi maupun non subsidi.

"Kenaikan suku bunga acuan sepertinya indikasi bahwa BBM jenis subsidi akan naik dalam waktu singkat, bukan hanya yang non subsidi disesuaikan dengan harga pasar," katanya pada Republika.co.id, Selasa (23/8/2022).

Baca Juga

Bhima mengatakan, kenaikan suku bunga ini berarti BI pre-emptives terhadap naiknya Pertalite maupun solar. Menurutnya, jika BBM subsidi naik 30 persen, maka BI diperkirakan akan menambah bunga acuan 75-100 bps sepanjang tahun.

Kenaikan harga BBM juga akan mempengaruhi nilai tukar rupiah dan inflasi. Bhima mengatakan semua sedang menghitung efek naiknya harga BBM subsidi terhadap kurs rupiah dan inflasi.

"Tapi kenaikan suku bunga juga perlu dicermati efeknya terhadap beban pembayaran bunga yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha," katanya.

Cost of fund atau biaya dana naik, ditambah harga BBM naik, maka konsumsi rumah tangga akan tertahan. Imbasnya terjadi kontraksi pada pertumbuhan ekonomi. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa 4-4,5 persen atau mendekati batas bawah proyeksi BI yang sebesar 4,5-5,3 persen.

Indikasi lainnya kenaikan suku bunga acuan adalah terkait kekhawatiran berakhirnya booming harga komoditas yang akan memicu pelemahan devisa ekspor yang signifikan. Price Reversal atau pembalikan arah harga komoditas saat ini cukup membahayakan stabilitas kurs rupiah.

"Dolar AS bisa mengamuk dan menekan kurs rupiah dalam jangka 3-6 bulan kedepan," katanya.

Terlebih dolar AS terus menguat dengan indeks dolar naik menjadi 109 atau menguat 13,4 persen (ytd). Bhima meyakini ini bukan kenaikan suku bunga yang pertama tahun ini sehingga pasar dan masyarakat perlu bersiap suku bunga naik secara persisten hingga tahun depan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement