REPUBLIKA.CO.ID, Membentang di sisi utara Sungai Niger, Timbuktu kini merupakan salah satu kota di Mali. Bermula dari sebuah kawasan permukiman sementara, kota ini berubah menjadi wilayah permukiman permanen pada awal abad ke-12. Sekitar dua abad kemudian, Timbuktu berkembang dari kota perdagangan garam, emas, dan gading, menjadi bagian penting dari Kerajaan Mali.
Tombouctou, begitu orang Prancis menyebut Timbuktu, merupakan kota multietnis yang dihuni oleh suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Kota ini didirikan oleh suku Tuareg Imashagan pada abad ke-11 M.
Sebelum mendirikan kota ini, suku Tuareg kerap menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk menggembala hewan ternak. Hal itu biasanya mereka lakukan pada musim hujan. Pada musim kering, mereka mendatangi Sungai Niger untuk mencari rumput. Ketika tinggal di sekitar sungai, suku Tuareg terserang sakit akibat gigitan nyamuk dan air yang menggenang.
Dalam kondisi yang kurang menguntungkan itu, mereka memutuskan untuk menetap beberapa mil dari Sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur. Ketika musim penghujan datang, suku Tuareg biasa meninggalkan barang-barang yang berat kepada seorang wanita tua bernama Tinabutut, yang tinggal dekat sungai. Seiring waktu pengucapan, Tinabutut berubah menjadi Timbuktu.
Timbuktu mulai menggeliat menjadi pelabuhan penting pada abad ke-11. Saat itu, Timbuktu menjadi pusat perdagangan beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara. Garam adalah produk yang amat bernilai kala itu. Selain emas, ada dua komoditas lain yang amat tinggi permintaannya, yakni buku dan emas.