Oleh : Mohammad Akbar, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Rasanya sudah terlalu lama kerinduan publik negeri ini untuk menantikan sepak bola tim nasional menjadi yang terbaik di pentas internasional. Rasanya juga, tak pernah ada kata patah semangat dari para pecinta sepak bola dalam memberikan dukungannya kepada timnas Merah Putih pada setiap kali penampilannya, dimana saja mereka berlaga.
Tapi haruskah kerinduan dan semangat besar para pecinta sepak bola itu menjadi pupus dengan minimnya prestasi yang diberikan timnas? Jawabannya; tidak! Ya, sebagai pecinta sepak bola, totalitas memberikan dukungan kepada timnas rasanya tak perlu lagi diragukan.
Potensi ini juga yang dilihat oleh federasi sepak bola di luar Indonesia jika menggelar pertandingannya di negeri ini. Contoh nyata yang terbaru adalah ketika Indonesia menjadi tuan rumah Piala AFF U-16 maupun U-19 yang semuanya mampu menyedot penonton dalam jumlah besar — baik di dalam stadion maupun ditandai dengan tingginya rating pemirsa televisi.
Secara bisnis, melimpahnya penonton itu tentunya menjadi cuan besar bagi penyelenggara maupun pihak federasi. Namun jika melihat dari sudut pandang yang lain, inilah potensi pendorong untuk menemukan 11 pemain terbaik di negeri ini.
Tentu saja, tidak ada jalan pintas untuk membangun timnas yang kuat. Semuanya harus disiapkan dan dirancang secara baik dan terorganisir. Mulai dari kompetisi berjenjang di setiap lapisan usia, hingga sokongan pembangunan fasilitas terbaik guna mendukung lahirnya para talenta sepak bola negeri ini.
Kehadiran Presiden Jokowi bersama sejumlah menterinya, termasuk Menteri BUMN Erick Thohir, pada peresmian Papua Football Academy (PFA) di Stadion Lukas Enembe Papua, Rabu (31/8) lalu, menjadi langkah penting. Sudah sepatutnya negara itu hadir dalam wujud yang lebih nyata.
Aksi bermain sepak bola Jokowi dan Erick Thohir dengan anak-anak Papua itu secara selintas menjadi bentuk simbolik yang harusnya bisa didorong kepada upaya strategis dalam merancang pembinaan sepak bola Indonesia ke depan.
Untuk menyiapkan ekosistem sepak bola modern, negara dan pihak swasta sudah seharusnya saling menguatkan. Di sini, negara menjadi fasilitator dan swasta berperan katalisator. Di tengah masih minimnya anggaran negara yang dikucurkan maka keterlibatan swasta diharapkan bisa menjawab segala macam hambatan yang mengadang.
Model semacam ini sebenarnya sudah lama dilakukan. Bahkan, di masa lampau, program Primavera yang mengirimkan talenta-talenta muda ke Italia, melibatkan pula peran besar pihak swasta. Terlepas dari segala bentuk output yang diraih, namun langkah-langkah semacam itu tetap harus dilakukan untuk menyiapkan timnas yang kuat.
Dalam konteks kehadiran Jokowi bersama menterinya pada peresmian PFA kemarin, langkah-langkah semacam itu harusnya bisa direplikasi juga ke berbagai daerah di Indonesia. Tentunya, menggandeng pihak swasta bisa menjadi katalisator yang positif. Namun, sekali lagi, semua itu harus dijalankan secara sungguh-sungguh, bukan untuk menyelubungkan motif jangka pendek saja.
Lalu, ekosistem akan bisa tumbuh jika ada kompetisi yang dilakukan secara reguler dan berjenjang. Saat ini, penyelenggaraan kompetisi masih menjadi pekerjaan rumah. PSSI sebagai pemegang otoritas sepak bola Indonesia, tampaknya masih harus lebih optimal lagi dalam menyiapkan perangkat pertandingan maupun infrastrukturnya di berbagai daerah di Indonesia.
Kemudian juga, kompetisi yang dilakukan itu tentunya tidak hanya terfokus pada adu kemampuan antar-anak negeri saja. Membawa para talenta ke level internasional menjadi tolak ukur penting untuk melihat sudah sejauh mana kemampuan mereka secara global.
Inilah yang menjadi output dari pembinaan sepak bola secara dini. Menyiapkan sarana dan prasarana menjadi keharusan yang dilakukan pada bagian hulu dari ekosistem sepak bola modern. Selanjutnya, di bagian hilirnya, bagaimana mendorong para talenta sepak bola itu bisa berkompetisi secara nasional maupun internasional.
Harapannya, ketika tempat-tempat pembinaan sepak bola usia dini semakin banyak di berbagai daerah, lalu kompetisi bisa dijalankan dengan standar baku internasional, maka penantian menyaksikan timnas yang kuat itu kelak menjadi sebuah keniscayaan.
Lantas pertanyaan simpel mengemuka; mampukah harapan itu terwujud?