REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Ribuan warga Irak telah turun ke jalan-jalan di ibukota, Baghdad, beberapa hari setelah bentrokan mematikan antara kelompok-kelompok Syiah. Mereka marah oleh krisis politik selama berbulan-bulan.
Para pengunjuk rasa non-partisan membanjiri Al-Nusoor Square di barat Baghdad pada Jumat (2/9/2022). Mereka mengacungkan spanduk dan bendera Irak untuk menuntut perombakan politik secara menyeluruh.
"Para pengunjuk rasa mengatakan mereka turun ke jalan hari ini untuk menuntut pemecatan semua elit politik, yang mereka tuduh korupsi,” kata Mahmoud Abdelwahed dari Baghdad dikutip dari Aljazirah.
"Mereka menyerukan keadilan bagi rekan-rekan mereka yang terbunuh di tangan pasukan keamanan pada 2019," ujar Abdelwahed merujuk pada gerakan protes anti-pemerintah yang meletus pada Oktober 2019.
Mobilisasi terbaru ini mengikuti hampir 11 bulan kelumpuhan yang telah meninggalkan negara itu tanpa pemerintahan baru, perdana menteri atau presiden. Faksi-faksi Syiah tidak setuju untuk membentuk koalisi sejak pemilihan Oktober lalu.
Demonstran meneriakkan slogan Arab Spring "Rakyat menginginkan jatuhnya rezim" dan "Iran tidak akan memerintah lagi".
"Mereka meneriakkan terhadap politisi yang didukung Iran. Mereka tidak ingin pemerintah mana pun dimanipulasi oleh Iran, yang mereka tuduh telah merusak negara selama bertahun-tahun," kata Abdelwahed.
Bentrokan antara pendukung ulama kuat Syiah Muqtada al-Sadr dan faksi-faksi saingan yang didukung Iran awal pekan ini mengubah Zona Hijau Baghdad menjadi medan perang. Setidaknya 30 pendukung al-Sadr tewas dalam bentrokan selama 24 jam yang meletus pada Senin (28/8/2022), setelah para pendukungnya menyerbu kantor-kantor pemerintah.
Kekerasan bergerak ke selatan negara itu pada Kamis (1/9/2022), bentrokan semalam antara anggota kelompok yang berafiliasi dengan al-Sadr dan pasukan Asaib Ahl al-Haq yang didukung Iran menewaskan empat orang. Dua anggota pasukan Saraya al-Salam al-Sadr termasuk di antara mereka yang meninggal.
Terlepas dari kekayaan minyak Irak, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), banyak warga yang terperosok dalam kemiskinan, dan sekitar 35 persen kaum muda menganggur. Negara ini juga dirusak oleh pemadaman listrik dan layanan publik yang runtuh, serta sekarang menghadapi kekurangan air dan kekeringan.