REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Yayasan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri berbasis riset, Emotional Health for All Foundation (EHFA), menemukan bahwa bunuh diri masih menjadi isu penting kesehatan publik dunia. Aksi itu mengimbas sejumlah orang muda di berbagai negara.
EHFA menyebutkan bahwa 77 persen bunuh diri terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Negara-negara itu belum memiliki strategi nasional pencegahan bunuh diri, akses terhadap dara statistik kondisi nyata bunuh diri terbatas dan belum banyak diketahui.
Memperingati hari pencegahan bunuh diri sedunia setiap 10 September setiap tahunnya, EHFA merilis pernyataan bahwa sejak 2021 Indonesia sudah berupaya mengembangkan strategi itu. Ketua EHFA, Sandersan Onie, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI dan WHO Indonesia.
Studi komprehensif tentang bunuh diri di Indonesia dilaksanakan, dengan lebih dari 100 jam wawancara mendalam untuk menginvestigasi beragam aspek bunuh diri di Indonesia. "Kami menganalisis data dari pemerintah, termasuk survei desa potensi, dan data kepolisian, dimana hasil dan rekomendasinya kami sampaikan pada kesempatan ini," ujar Sandersan melalui pernyataan resminya.
Hasil temuan menunjukkan ada kesenjangan antara angka resmi serta angka perkiraan angka bunuh diri. Rata-rata tingkat laporan angka bunuh diri yang tidak tercatat berkisar antara nol sampai 50 persen di dunia. Sementara, angka kejadian bunuh diri di Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300 persen.
Artinya, angka sesungguhnya bisa minimal empat kali lipat dari yang dilaporkan. Beragam alasan mendasari angka bunuh diri yang tidak tercatat, termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit, juga banyak keluarga masih menyembunyikan kejadian bunuh diri akibat rasa malu dan stigma masyarakat.
Provinsi dengan kejadian bunuh diri tertinggi antara lain Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Maluku Utara, dan Kepulauan Riau. Adapun provinsi dengan tingkat upaya bunuh diri tertinggi ditemukan di Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Riau.
"Untuk setiap kematian akibat bunuh diri, kemungkinan terdapat delapan hingga 24 kali upaya percobaan bunuh diri, dengan penyebab tertinggi diakibatkan oleh tekanan psikologis, penyakit kronis, dan masalah keuangan," kata Sandersan.
Faktor risiko bunuh diri termasuk masalah keluarga, masalah keuangan, dan kesepian. Sebaliknya, terdapat sejumlah faktor protektif yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri, meliputi komunitas, akses ke perawatan psikologis, serta agama.
Penelitian menemukan bahwa terdapat kelompok-kelompok independen yang juga berperan dalam beberapa upaya pencegahan bunuh diri. Namun, mayoritas upaya tersebut tidak maksimal, tidak terkoordinasi dan seringkali tidak didasarkan pada penelitian kontekstual yang baik.
Sebagai upaya pengembangan program “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional”, tim peneliti merekomendasikan sejumlah langkah. Rekomendasi tersebut meliputi perlunya kebijakan nasional melalui kerja sama dengan institusi terkait, pengentasan moralisasi bunuh diri dari sisi agama, dan peningkatan penelitian akademis secara terlatih dan sistemik.
Perlu juga dilakukan pembentukan asosiasi lintas disiplin sebagai pengawasan upaya pencegahan bunuh diri, melakukan intervensi dengan pembatasan sarana bunuh diri, serta meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademis tentang pencegahan bunuh diri berdasarkan situasi, kondisi dan kearifan lokal setempat. "Rekomendasi ini dibuat berdasarkan temuan data yang baru," ungkap Sandersan.