Senin 19 Sep 2022 17:59 WIB

Dukung Kemandirian Pangan Petani, Guru Besar IPB Optimalkan Penggunaan Mikroba

Selama 20 tahun terakhir dilaporkan terdapat 14 hama dan penyakit baru

Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono M.Agr
Foto: istimewa
Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono M.Agr

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Tantangan di dunia pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan menjadi semakin besar karena meningkatnya masalah hama, penyakit dan cekaman abiotik seperti kekeringan, banjir, lahan salin, hujan asam, dan suhu ekstrem. Ledakan hama penyakit menyebabkan kerugian seperti penurunan produksi dan penurunan pendapatan petani. 

Hal tersebut menjadi pandangan orasi ilmiah Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono M.Agr saat dikukuhkan sebagai guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University di Bogor, akhir pekan lalu. 

"Sebagai contoh pada serangan penyakit blas, kerugian sepanjang 2011-2019 sebesar Rp 446 miliar per tahun. Sementara serangan wereng menyebabkan kerugian sebesar Rp 1,32 triliun. Hal ini tentunya bisa menyebabkan penurunan derajat ketahanan pangan dan meningkatnya ancaman kerawanan pangan," kata Suryo dalam pesannya kepada Republika di Jakarta, Senin (19/9).

Suryo mengemukakan di Indonesia telah terjadi penambahan jenis baru untuk kerusakan yang disebabkan oleh hama dan penyakit. Selama 20 tahun terakhir dilaporkan, kata dia, terdapat 14 hama dan penyakit baru pada tanaman pertanian. 

"Hama dan penyakit ini tentu saja menurunkan kualitas dan kuantitas hasil yang berakibat pada kekurangan supply pangan dan melonjaknya harga produk pertanian” ujarnya.

Menurut Suryo,  salah satu upaya yang dapat dipilih untuk menekan risiko dan ancaman ledakan hama penyakit adalah dengan memanfaatkan mikroba langsung beserta turunannya baik berupa gen, maupun senyawa kimia yang dihasilkan. Penggunaan mikroba ini dikenal dengan istilah biosprospeksi. 

“Penggunaan mikroba makin meluas dan penting karena tidak hanya mampu mengendalikan hama penyakit, namun dalam penyediaan unsur hara dan membantu tanaman dalam mengatasi cekaman abiotik seperti salinitas, suhu tinggi dan kekeringan menggunakan teknologi mikroba” kata akademisi yang juga menjadi ketua Gerakan Petani Nusantara (GPN) ini.

Dalam orasi ilmiahnya, Suryo juga mengemukakan bahwa penggunaan mikroba dapat mengurangi penggunaan pestisida bahkan dalam beberapa kasus dapat menggantikan pestisida secara total. Misalnya pada kombinasi aplikasi Trichoderma, PGPR, khamir Rodotorula minuta, dan Lecanicillium dalam paket teknologi mikrob intensif mampu mensubtitusi 100%persen penggunaan pestisida kimia sintetik pada tanaman cabai. 

“Rendahnya penggunaan pestisida tentu saja dapat memberikan dampak positif pada lingkungan dan juga kesehatan. Bahkan mengurangi risiko ledakan hama penyakit yang lebih luas. Seperti pada kasus hama wereng cokelat, penggunaan pestisida justru memicu ledakan yang lebih besar” papar Suryo.

Selain itu, penggunaan mikroba juga dapat mengurangi dosis pupuk sintetik dengan cara meningkatkan ketersediaan hara tanah, efisiensi penyerapan hara oleh tanaman, dan mengurangi kehilangan hara. Menurut Suryo, hal ini sangat penting di tengah sulitnya memproduksi pupuk karena bahan baku yang tergantung negara lain. 

"Ini juga penting untuk membantu petani yang makin sulit mendapatkan pupuk. Selain itu juga penting untuk  mengurangi larinya uang negara ke negara lain. Pada tahun 2021 saja sebesar 2,12 miliar dolar AS uang dibelanjakan ke negara lain untuk 8,1 juta ton bahan baku pupuk."

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement