Senin 19 Sep 2022 21:15 WIB

Tak Hanya Butuh Nikel, Pabrik Baterai Indonesia Masih Butuh Logam Impor

MIND ID menyebut pembentukan baterai untuk mobil listrik didominasi nikel

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja memasukkan baterai saat mengonversi sepeda motor konvensional menjadi sepeda motor listrik di Lengkong, Tangerang Selatan, Banten. Pemerintah membangun pabrik baterai yang diinisiasi oleh Indonesian Battery Coorporation (IBC). Sayangnya, dalam pembentukan pabrik baterai ini, Indonesia hanya memiliki sumberdaya Nikel. Untuk bisa menjadi baterai, Indonesia masih membutuhkan jenis logam lain yang tak dimiliki sehingga terpaksa impor.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Pekerja memasukkan baterai saat mengonversi sepeda motor konvensional menjadi sepeda motor listrik di Lengkong, Tangerang Selatan, Banten. Pemerintah membangun pabrik baterai yang diinisiasi oleh Indonesian Battery Coorporation (IBC). Sayangnya, dalam pembentukan pabrik baterai ini, Indonesia hanya memiliki sumberdaya Nikel. Untuk bisa menjadi baterai, Indonesia masih membutuhkan jenis logam lain yang tak dimiliki sehingga terpaksa impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah membangun pabrik baterai yang diinisiasi oleh Indonesian Battery Coorporation (IBC). Sayangnya, dalam pembentukan pabrik baterai ini, Indonesia hanya memiliki sumberdaya Nikel. Untuk bisa menjadi baterai, Indonesia masih membutuhkan jenis logam lain yang tak dimiliki sehingga terpaksa impor.

Direktur Hubungan Kelembagaan Mind ID Dany Amrul Ichdan menjelaskan dalam membuat baterai memang komposisi utamannya adalah Nikel. Untuk hal ini, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan ini. Komposisi nikel dalam pembentukan baterai untuk kendaraan listrik ini mendominasi 80 persen.

"Tapi sisanya 20 persen, seperti logam logam lain ini kami memang tidak ada dan masih harus impor," ujar Dany di Komisi VII DPR RI, Senin (19/9).

Dany menjelaskan logam lain yang dibutuhkan Lithium Hydroxide. Jenis bahan baku ini hanya diproduksi Cina, Chile dan Australia. Sedangkan nantinya IBC membutuhkan 70.000 ton per tahun untuk bahan baku ini.

Sedangkan bahan baku lainnya, mangan, sulfat dan cobalt setahun IBC akan membutuhkan 12.000 ton. Indonesia maish tak punya bahan baku ini dan hanya diproduksi oleh negara lain. Selain itu, Indonesia membutuhkan grafit dengan total kebutuhan 44.000 ton per tahun, sayangnya Indonesia juga masih harus bergantung bahan baku ini dari Cina dan Brazil.

Kata Dany, IBC memitigasi hal ini dengan melakukan rencana jangka panjang agar tak melulu impor. Dany membuka opsi Indonesia bisa mengambil tambang lithium dari luar negeri.

"ndonesia Battery Corporation (IBC) sedang menyusun roadmap, paling tidak ketergantungan impor bisa kita kurangi dan juga kita bisa melihat masa depan IBC sebagai investment company," ujar Dany. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement