Jumat 30 Sep 2022 10:31 WIB

Tak Hanya di Lubang Buaya

Kekejaman PKI sebelum G30S terekam sejak 1948.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Partner
.
Foto: network /Fitriyan Zamzami
.

Pembaca yang budiman, bulan September kerap dikenang terkait dengan peristiwa G30S alias penculikan sejumlah jenderal TNI AD pada malam 30 September 1965 dan dini hari 1 Oktober keesokan harinya. Gerakan itu dijalankan sejumlah faksi di TNI AD yang disebut dipengaruhi juga oleh PKI. Kendati demikian, pada 1948 hingga 1965 tersebut, sebelum G30S, sejumlah peristiwa keji yang didalangi PKI juga terjadi.

Pendukung PKI pada 1965. (Istimewa)
Pendukung PKI pada 1965. (Istimewa)

Menurut peneliti utama pada Balai Litbang Agama Jakarta, Marzani Anwar dalam tulisannya untuk Republika pada 2005, pada 1960-an, di sejumlah daerah Jawa Tengah terutama di Solo, Kartosuro, Boyolali, dan Klaten, banyak aksi sepihak yang ditujukan kepada lawan politik, tokoh agama, dan orang-orang sipil tak berdosa dilakukan unsur PKI. Di antaranya, penculikan dan penghilangan paksa empat orang di Klaten.

Pada kasus lain, sebanyak 16 orang anggota

PKI menyekap sejumlah warga di Solo. Yang tidak bisa lolos menjadi sasaran kekerasan massa PKI. Mereka yang dibunuh sebanyak tujuh orang. Pembunuhan juga menimpa Basuni di Jatinom dan Miftah penduduk Laweyan Sala.

Sementara pada 13 Januari 1965 di Kanigoro, Kediri, Jawa Timur, PKI menggerebek acara mental-training oleh Pelajar Islam Indonesia (PII). Di tengah acara, anggota PKI melakukan penggerebekan di pagi hari setelah peserta melaksanakan shalat Subuh. Saat itu, orang-orang PKI serta-merta datang dan serempak menyerbu lokasi mental-training.

Pengarahan saat pemberantasan PKI pada 1965. (Perpusnas RI)
Pengarahan saat pemberantasan PKI pada 1965. (Perpusnas RI)

"Mereka mengambil buku-buku, termasuk Alquran di masjid, lalu dinjak-injak. Para peserta, termasuk panitia, 150-an orang, digiring dengan tangan diikat satu sama lain, dipaksa berjalan empat km sambil diintimidasi, diancam, serta diteror," tulis Marzani Anwar.

Ada juga peristiwa "Cemethuk" di Banyuwangi pada 18 September 1965. Saksi mata yang berhasil meloloskan diri dari usaha pembunuhan oleh PKI, menuturkan, saat itu mereka diberi makanan yang sudah dicampur racun, kemudian satu per satu dibunuh, dan mayatnya dimasukkan ke sumur yang sudah disiapkan. Ada tiga lubang pembantaian. Satu lubang besar berisi 40 mayat dan dua lainnya masing-masing 11 mayat. Para korban merupakan anggota GP Ansor.

Kemudian pembantaian di Blitar Selatan diungkapkan dalam buku Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai tulisan Soegiarso Soerojo, di halaman 331-332. Di antaranya mengungkapkan kasus kekejaman PKI, seperti di Rejotangan, Ngunut, Kaliwadi, dan Bojolangu.

"Mereka melakukan praktik intimidasi terhadap rakyat dan merampok harta kekayaan penduduk, membunuh orang tak berdosa, dengan sasaran utama golongan beragama. Menculik setiap orang yang mereka curigai. Bila ternyata lawan, mereka tak segan-segan membunuhnya. Praktik kejam ini dipimpin Sugita dan Sutrisno, keduanya anggota CGMI," tulis Marzani.

Sedangkan asus pembantaian di Kediri diungkap berdasarkan kesaksian Yatinah (69 tahun), anak kandung korban bernama Sarman. Peristiwanya terjadi pada 18 September 1948 sewaktu menghadiri rapat pamong di kelurahan, tiba-tiba ia dicegat segerombolan orang.

Kemudian, dibawa paksa ke suatu tempat sambil diikat kedua tangannya. Berhari-hari ayahnya tidak pulang, dan ternyata termasuk yang dimasukkan di sumur maut dekat desa. Bersama 108 orang. Sarman tertulis di nomor 48 dalam daftar di monumen tersebut.

Masih di Kediri, penculikan disertai pembunuhan juga terjadi pasca-G30S. Korbannya adalah Imam Mursyid dan kawannya, termasuk Kiai Zaenuddin. Atas kesaksian Djaini bin Ramelan (65), adik kandung korban Imam Mursyid.

Imam Mursyid dicegat di tengah jalan, kemudian dibawa ke Desa Besowo, dioper ke sana-kemari, sampai akhirnya diikat, kemudian dilempar ke jurang sungai.

Sementara Kasus Takeran (Sumur Kenongo Mulyo) terungkap atas kesaksian Kaelan Suryo Martono (73), beralamat di Desa Giringan, pekerjaan sebagai petani di Jawa Timur. Peristiwa Takeran terjadi pada 1948.

Gerbong lori yang dipakai untuk mengangkut para korban yang hendak di eksekusi di Perkebunan Tebu Takeran. (Istimewa)
Gerbong lori yang dipakai untuk mengangkut para korban yang hendak di eksekusi di Perkebunan Tebu Takeran. (Istimewa)

Keterangan kasus Takeran diperkuat salah seorang saksi korban bernama Hadi Syamsuri (80), pensiunan naib (petugas pernikahan) di Takeran. Ia diculik dan digiring ke Desa Baeng dan ditahan di sana. Di situ sudah ada sekitar 80 Muslim ditahan. Selama 40 hari ia ditahan di Baeng.

Di tempat tawanan ditemui sejumlah lurah yang juga ditawan. Selama ditahan, mereka tidak diberi makan. Sebagian kawan lain ditahan di Desa Cigrok. Selama di tahanan, orang-orang PKI itu merampas kerbau dan sapi milik warga.

Tiap hari mereka memotong kerbau atau sapi untuk pesta yang berjaga di Baeng. Pada saat tentara Siliwangi datang, mereka yang ditahan di Desa Cigrok dibunuh semua oleh PKI. Sedangkan, yang di Baeng berhasil menyelamatkan diri.

Kasus Kresek, Madiun, terungkap berdasarkan kesaksian KH Ahmad Junaedi, anak kandung salah seorang korban bernama KH Barokah Bachruddin. Sejumlah kiai diculik dan dibunuh. Diduga kuat sebelum dibunuh, mereka dianiaya.

Monumen Keganasan PKI atau Monumen Kresek merupakan monumen dengan relief dan patung yang menggambarkan keganasan PKI di Madiun pada tahun 1948. - (DOK ANTARA Fikri Yusuf )
Monumen Keganasan PKI atau Monumen Kresek merupakan monumen dengan relief dan patung yang menggambarkan keganasan PKI di Madiun pada tahun 1948. - (DOK ANTARA Fikri Yusuf )

Terungkapnya kasus pembantaian di Markas Gebung, Ngawi, Jawa Timur, berdasarkan keterangan para saksi korban penculikan di Desa Gebung. Korbannya ditahan 12 hari, hampir-hampir tidak diberi makan. Mereka terkurung di dalam rumah yang terkunci, lalu rumah dibakar.

Mengingat sejumlah kekejaman PKI tersebut, pada akhirnya gerakan penumpasan PKI selepas 1965 juga berdarah-darah dengan korban jiwa yang signifikan. Presiden Joko Widodo belakangan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) yang salah satu tugasnya mengupayakan rekonsiliasi atas peeristiwa tersebut. []

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement