REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN - Polisi menggerebek tambang batu bara ilegal di Desa Sukomulyo, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dengan menangkap tiga pelaku penambang liar. Tambang ilegal ini hanya beberapa kilometer jaraknya dari bakal kawasan inti pemerintahan Ibu Kota Negara Nusantara.
"Kami mengamankan TM, T, dan F," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kaltim Kombes Pol Indra Lutrianto Amstono, Jumat (30/9/2022).
Ketiganya laki-laki dengan TM sebagai pemodal, T sebagai operator alat berat, dan F penjaga tambang. Saat digerebek polisi, tambang terbuka dengan satu ekskavator tersebut telah menghasilkan batu bara sejumlah kurang lebih 1.000 metrik ton.
Lahan yang ditambang sebenarnya berada dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT TKM. Namun IUP PT TKM diketahui bermasalah sehingga tidak dapat menjadi dasar hukum atau legalitas dari kegiatan penambangan di atasnya.
Namun, TM tetap melakukan perjanjian kerja sama dengan B selaku Direktur Utama PT TKM. Perjanjian operasional pertambangan batu bara diteken pada 17 Desember 2021.
Ketiga tersangka dijerat Pasal 158 UU RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. Sebelumnya, pertengahan pekan ini polisi dengan bersenjata lengkap menyergap para penambang batu bara ilegal di lahan milik Yayasan Penyelamatan Orang Hutan Kalimantan (BOSF/Borneo Orangutan Survival Foundation).
Dari lahan di KM 33 Jalan Soekarno-Hatta, Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut, polisi mengamankan empat unit ekskavator, delapan unit dump truck dan sejumlah orang. Kegiatan penambangan batu bara ilegal tersebut sudah dilaporkan BOSF ke Polsek Samboja sebulan lalu. Laporan kemudian diteruskan ke Polda Kaltim.
Tidak kurang sudah tujuh hektare lahan BOSF dibongkar para penambang untuk diambil batu baranya. Dalam kawasan itu, BOSF memelihara tidak kurang dari 300 orang hutan (Pongo pygmaeus) agar kelak dapat dilepasliarkan kembali.
"Lahan kami ada seluas 1.800 hektare. Sebagian besar masih berupa hutan sekunder atau bekas kebun yang kembali jadi hutan," jelas Kuasa Hukum BOSF Yesaya Rohy.
Sejak tahun 1980 BOSF membeli lahan di kawasan itu. Saat itu belum diketahui ada batu bara di lokasi tersebut dan belum booming bisnis batu bara.