REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Parlemen Selandia Baru pada Ribu (19/10/2022) mengusulkan perubahan undang-undang kontra-terorisme. Usulan ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak pembatasan pada orang-orang yang diduga merencanakan serangan.
Perubahan pada Undang-Undang Perintah Pengendalian dan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme mengikuti pengenalan undang-undang Perundang-undangan Kontra-Terorisme pada 2021. Undang-undang ini disahkan setelag terjadi serangan penusukan terhadap beberapa orang di supermarket Auckland oleh seorang pria yang dikenal memiliki pandangan ekstremis.
"Meskipun tidak ada hukum yang dapat menghentikan teroris yang termotivasi untuk melakukan serangan, perubahan ini akan sangat membantu dalam mencegah, mengganggu, dan membatasi kemampuan mereka untuk melakukannya," kata Menteri Kehakimannya, Kiri Allen dalam sebuah pernyataan.
Perubahan tersebut termasuk memperluas kriteria siapa yang dapat memiliki batasan. Termasuk meningkatkan fleksibilitas apakah seseorang di bawah Undang-Undang Perintah Pengendalian identitasnya harus dirahasiakan. Perubahan undang-undang sekarang harus melalui parlemen, sehingga tidak mungkin diselesaikan sebelum Maret 2023.
Setelah serangan penusukan pada 2021, pemerintah meninjau kembali undang-undang untuk mencegah serangan serupa terjadi. Pelaku penusukan, yang ditembak mati oleh polisi, terinspirasi oleh kelompok militan ISIS dan berada dalam pengawasan petugas keamanan setelah pembebasannya dari penjara.
Penusukan ini adalah serangan ekstremis kedua di Selandia Baru salam kurun waktu kurang dari dua tahun. Pada Maret 2019, terjadi pembantaian oleh seorang supremasi kulit putih di dua masjid di Christchurch yang menewaskan 51 orang dan melukai puluhan lainnya.