Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Masih segar dalam ingatan, saat masih menuntut ilmu di negeri Kinanah, Mesir kita pernah diskusi tentang tafsir ayat 24 dari Surat Yusuf :
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ ... “Dan sungguh wanita itu telah berkehendak padanya (Yusuf) dan ia (Yusuf) pun berkehendak padanya kalau ia tidak melihat tanda dari Tuhannya…”
Apakah maksud dari kata hamma (هَمَّ) di sini Nabi Yusuf juga punya ‘perasaan’ terhadap Zulaikha, atau bahkan sempat ‘bernafsu’ melihat kecantikannya?
Sebagian teman ada yang mengatakan tidak mungkin Nabi Yusuf punya perasaan seperti itu. Bagaimanapun, beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang tentu ma’shum (terjaga) dari hal-hal yang merusak harga diri. Bukankah punya perasaan pada wanita yang ajnabiyyah adalah sesuatu yang tercela, apalagi untuk seorang nabi dan rasul?
Sebagian lain mengatakan Nabi Yusuf memang sempat tertarik pada Zulaikha. Meskipun ia seorang Nabi, tapi pada akhirnya ia juga seorang manusia dan normal serta sehat secara jasmani dan ruhani. Apakah rasa sukanya pada Zulaikha tidak merusak kema’shumannya? Tidak. Mengapa? Karena rasa suka ini tidak berlanjut pada sesuatu yang haram.
Bahkan, kalau Nabi Yusuf tidak punya ketertarikan sama sekali, ini justru yang bisa dinilai sebagai sesuatu yang merusak kenormalan dan ‘kejantanannya’.
*
Menarik mengkaji pendapat ahli tafsir tentang ayat ini. Bukan hanya ahli tafsir Arab, tapi juga ahli tafsir Indonesia seperti Buya Hamka.
Dalam tafsir al-Azhar-nya, Buya Hamka lebih cenderung kepada pendapat kedua. Ia mengatakan bahwa Nabi Yusuf memang sudah timbul keinginan pada wanita itu. Pendapat ini didasarkannya pada penjelasan Imam al-Baghawi.
Buya Hamka juga menukil pendapat beberapa ahli tafsir yang lain. Tapi ia punya alasan tersendiri sehingga lebih menguatkan pendapat Imam al-Baghawi. Ia menulis:
“Dipandang dari segi ilmu jiwa dan biologi, kita condong kepada penafsiran al-Baghawi. Karena meskipun menggelora nafsu syahwat Yusuf di tempat yang sunyi itu karena rayuan Zulaikha, tidaklah hal itu mengurangi kema’shumannya. Sebab, dia adalah manusia dan laki-laki tulen.”
Kalau kita merujuk langsung ke Tafsir al-Baghawi kita akan menemukan bahwa alasan utama Imam Baghawi memilih pendapat ini adalah karena ini adalah pendapat kebanyakan ulama salaf. Beliau menulis :
والقول ما قال متقدمو هذه الأمة وهم كانوا أعلم بالله أن يقولوا في الأنبياء من غير علم
“Pendapat yang kuat adalah apa yang telah dikatakan oleh para ulama terdahulu umat ini karena mereka jauh lebih tahu dan paham, dan tidak mungkin mereka mengatakan sesuatu tentang para Nabi tanpa dasar ilmu.”
Lalu beliau menukil pendapat Imam al-Hasan al-Bashri:
إن الله تعالى لم يذكر ذنوب الأنبياء عليهم السلام في القرآن ليعيرهم، ولكن ذكرها ليبين موضع النعمة عليهم، ولئلا ييأس أحد من رحمته
“Sesungguhnya Allah tidak menyebutkan dosa para Nabi dalam al-Quran untuk merendahkan mereka, melainkan untuk menjelaskan sisi nikmat terhadap mereka, dan agar tidak seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.”
Ulama lain mengatakan sebagai berikut:
ليجعلهم أئمة لأهل الذنوب في رجاء الرحمة وترك الإياس من المغفرة والعفو
“Agar mereka (para Nabi dan Rasul) dijadikan sebagai ikutan bagi hamba-hamba yang berdosa untuk tetap berharap pada rahmat Allah dan tidak pernah berputus asa dari ampunan-Nya.”
Baca juga: Pengakuan Mengharukan di Balik Islamnya Sang Diva Tere di Usia Dewasa
Kalau ditanya, apakah hamm seperti itu tidak merusak ke-ma’shum-an seorang Nabi? Imam Baghawi menjelaskan :
الهم همان، هم ثابت وهو إذا كان معه عزم وعقد ورضى، مثل هم امرأة العزيز، والعبد مأخوذ به، وهم عارض وهو الخطرة وحديث النفس من غير اختيار ولا عزم، مثل هم يوسف عليه السلام، والعبد غير مؤاخذ به ما لم يتكلم أو يعمل
“Hamm itu ada dua; ada yang bersifat tsabit (tetap). Ini yang disertai dengan tekad untuk mewujudkannya disertai perasaan ridha, seperti halnya hamm istri al-Aziz (Zulaikha). Hamm seperti ini yang akan diberikan sanksi.
Kedua, hamm yang bersifat ‘aridh yang berupa lintasan pikiran dan perasaan tanpa diiringi dengan tekad dan keinginan untuk mewujudkannya, seperti hamm Nabi Yusuf alaihissalam. Hamm seperti ini tidak akan diberi sanksi selama tidak dibicarakan atau dikerjakan.”