Ahad 30 Oct 2022 22:57 WIB

Pakar UI Luruskan Soal Bahaya EG dan BPA dalam Botol Air Kemasan

Pakar UI menyebut bahan baku EG relatif amat sulit alami peluruhan di dalam botol PET

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Botol air minum dalam kemasan hasil daur ulang. Ahli Teknologi Polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid, membantah pernah menyampaikan paparan bisfenol A (BPA) lebih berbahaya dari etilen glikol. Menurutnya, semua zat kimia dalam bentuk monomernya yang ada kemasan minuman itu sama-sama berbahaya.
Foto: Republika/Gumanti Awaliyah
Botol air minum dalam kemasan hasil daur ulang. Ahli Teknologi Polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid, membantah pernah menyampaikan paparan bisfenol A (BPA) lebih berbahaya dari etilen glikol. Menurutnya, semua zat kimia dalam bentuk monomernya yang ada kemasan minuman itu sama-sama berbahaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ahli Teknologi Polimer dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Mochamad Chalid, membantah pernah menyampaikan paparan bisfenol A (BPA) lebih berbahaya dari etilen glikol. Menurutnya, semua zat kimia dalam bentuk monomernya yang ada kemasan minuman itu sama-sama berbahaya. 

“Jadi, saya tidak pernah tidak pernah memberikan pernyataan secara eksplisit maupun implisit, bahkan kesimpulan bahwa paparan BPA itu jauh lebih berbahaya dari etilen glikol,” ujarnya kepada wartawan, Ahad (30/10/2022).

Kata Chalid, dirinya tidak pernah menyatakan perbandingan lepasan BPA dari kemasan berbasis polikarbonat (PC) dan lepasan etilen glikol (EG) dari kemasan berbasis PET. Menurutnya, hal ini sulit diterima, karena keduanya berasal dari material polimer yang jauh berbeda dan sulit dibandingkan secara langsung.

Begitu juga tentang batas bahaya BPA yakni 0,6 ppm (bagian per sejuta), sedangkan EG yakni 30 ppm, sehingga BPA 50 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan EG atau sedikit saja kandungan BPA sudah berbahaya bagi tubuh, sedangkan EG butuh 50 kali lebih banyak baru dikategorikan bahaya.

Chalid menegaskan pihaknya tidak pernah memberikan pernyataan bahkan perbandingan tingkat bahaya BPA dan EG, apalagi menyimpulkan perbandingan tingkat bahaya kemasan AMDK berbasis PC dan PET. 

“Terlebih, hal tersebut di luar bidang saya,” tegasnya,

Dia menjelaskan EG digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi PET, oleh industri hulu polimer sebagai produsen bahan baku polimer, yang kemudian diproses oleh industri botol PET, yang tentunya tidak ada lagi karakter EG, sebagai kemasan air minum. Jika digunakan sesuai prosedur pemakaian, botol PET relatif sangat sulit mengalami peluruhan menjadi EG kembali.

Sebelumnya, diberitakan Chalid menyampaikan bahwa sejumlah fakta menunjukkan bahwa kandungan BPA pada kemasan AMDK galon guna ulang memiliki potensi paparan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa etilen glikol pada kemasan PET.  Diberitakan, dia mengatakan terkait dengan mekanisme penggunaan ulang kemasan Polikarbonat akan membuat kandungan BPA akan lebih mudah luruh dan bermigrasi dari kemasan ke makanan dan minuman. 

Kedua, yakni terkait dengan batas bahaya BPA yakni 0,6 ppm (bagian per sejuta), sedangkan EG yakni 30 ppm, sehingga BPA 50 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan EG. Atau, sedikit saja kandungan BPA sudah berbahaya bagi tubuh, sedangkan EG butuh 50 kali lebih banyak baru dikategorikan bahaya.

Dalam beberapa hari ini berita terkait EG menjadi pembicaraan utama dimedia terkait kematian 143 anak-anak akibat gagal ginjal akut yang diduga diakibatkan paparan zat kimia Etilen Glikol. EG juga digunakan sebagai zat aditif kemasan galon PET. 

Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha E. Suyatma, menambahkan kemasan PET yang juga memiliki resiko karena memiliki kandungan asetaldehid, etilen glikol, antimon dan lain-lain yang juga berbahaya. 

“Saatini IARC (International Agency for Research on Cancer), badan yang di bawah WHO masih mengkategorikan BPA masuk grup 3, belum masuk grup 2A atau 2B. Sedang acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama. Acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik bagi manusia,” ucapnya.

IARC mengklasifikasikan karsinogenik ini dalam empat grup. Kelompok 1, karsinogenik bagi manusia. Kelompok 2A, kemungkinan besar karsinogenik bagi manusia. Kelompok 2B, dicurigai berpotensi karsinogenik bagi manusia. Kelompok 3, tidak termasuk karsinogenik pada manusia. Kelompok 4, kemungkinan besar tidak karsinogenik bagi manusia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement