REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai Indonesia bisa keluar dari resesi global di tahun depan. Hal ini lantaran berbagai lembaga internasional pun memproyeksikan ekonomi RI mampu tumbuh 4,8 persen hingga 5,1 persen di 2023.
"Beberapa lembaga juga bersepakat dengan Indonesia bahwa Indonesia bisa menjadi the bright spot in the dark," ungkap Airlangga dalam Konferensi Pers Capaian Pertumbuhan Ekonomi Kuartal ke-3 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (7/11/2022).
Ia menjelaskan terdapat beberapa langkah yang dilakukan pemerintah untuk menghindari resesi global pada tahun 2023. Salah satunya yakni dengan menjaga daya beli serta memperkuat nilai tukar rupiah.
Penguatan kurs Garuda dilakukan dengan mendorong Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan melakukan kerja sama mata uang lokal (Local Currency Settlement/LCS) dengan beberapa negara agar Bank Indonesia (BI) bisa mendorong pembatasan kebutuhan akan devisa. Selain itu, reformasi struktural yang dilakukan melalui implementasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pun akan terus dilanjutkan.
Airlangga menuturkan daya tahan perekonomian Indonesia sekitar 50,38 persen berasal dari konsumsi domestik, jika dilihat dari komponen pengeluaran. Sementara itu ketergantungan terhadap ekspor hanya 26,23 persen sehingga tidak terlalu berpengaruh.
Di sisi inflasi, Indonesia pun belakangan telah mengalami deflasi sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lebih berkualitas karena pertumbuhan ekonomi sedikit di atas angka inflasi. "Kita juga melihat dari investasi terjadi peningkatan sehingga tentu penyerapan oleh investor domestik menjadi bantalan daripada keluarnya modal asing," ungkapnya.
Sementara itu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menambahkan pihaknya akan melakukan berbagai upaya untuk menekan efek domino perlambatan global terhadap sektor manufaktur Indonesia. Dia mengaku, telah mengajak pelaku industri untuk merancang langkah mitigasi yang dibutuhkan.
"Industri yang tumbuh tapi melambat dibandingkan kuartal sebelumnya, seperti industri makanan dan minuman. Tumbuh tapi belum sesuai harapan. Karena, pra-Covid sektor tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional," ucapnya.
Agus menyebut penyebab melambatnya pertumbuhan diantaranya akibat penurunan permintaan di luar negeri. "Juga input cukup tinggi karena berkaitan bahan baku, baik itu ketersediaan maupun harga, salah satunya berkaitan dengan menguatnya dolar," ucapnya.