REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepemimpinan Aisyiyah masa depan harus mengakomodasi kader-kader muda potensial untuk masuk dalam jajaran kepengurusan. Sebab, keberadaan anak-anak muda tersebut sangat dibutuhkan untuk memperkuat dakwah Islam berkemajuan.
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah mengatakan tantangan dakwah ke depan sangat berat. Karenanya, pimpinan-pemimpin Aisyiyah harus mampu membangun kultur organisasi baru dan biasa melaksanakan adaptasi.
"Dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam strategi dakwahnya," kata Tri dalam Muktamar Talk: Kepemimpinan Transformatif Aisyiyah di Masa Depan, Rabu (9/11/2022).
Tri menuturkan, salah satu tantangan berat ke depan masalah digitalisasi karena teknologi tahun ke tahun akan terus berkembang. Ini membuat pemimpin Aisyiyah di semua level harus memiliki kemampuan beradaptasi dalam mengelola organisasi.
Dalam dakwah digital Aisyiyah harus mampu membawa nilai-nilai Islam berkemajuan. Tantangan ini harus dijadikan peluang, sehingga bisa mengembangkan organisasi menjadi lebih kuat. Apalagi, banyak pengalaman selama masa pandemi Covid-19.
Pada masa itu, seluruh aktivitas organisasi tidak bisa dilakukan dengan tatap muka. Karenanya, forum-forum daring digelar sangat massif. Dengan pengalaman itu, ia melihat, banyak kader Aisyiyah yang akhirnya bisa melek teknologi.
Mereka dipaksa belajar cepat agar bisa menggunakan instrumen-instrumen digital. Hasilnya, saat simulasi e-voting kemarin, semuanya berjalan lancar. Mulai proses awal sampai ke bilik, mereka benar-benar maksimal dalam memanfaatkan teknologi.
Terkait pemilihan kepemimpinan Aisyiyah dalam Muktamar mendatang, Tri menilai, sekarang sudah ada 105 nama yang akan dipilih dari Tanwir Aisyiyah. Dari 105 nama-nama tersebut akan dipilih menjadi 39 orang di Muktamar 48 mendatang.
"Di Aisyiyah memilih 13 pemimpin, dipilih tujuh yang bersidang sebagai formatur. Nantinya ada tambahan 10 orang, sehingga pimpinan Aisyiyah 23 orang," ujar Tri.
Pemilihan kepemimpinan ‘isyiyah melalui formatur, prosesnya melalui musyawarah mufakat. Siapa yang ditunjuk menjadi ketua, sekretaris, bendahara dan lainnya. Kepemimpinan Aisyiyah seperti Muhammadiyah menganut azas kolektif kolegial.
"Di mana dalam mengelola organisasi, setiap keputusan tidak hanya dilakukan satu orang, tapi dimusyawarahkan bersama-sama," kata Tri.
Ketua PP Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini menekankan mereka yang dipilih menjadi pemimpin di Aisyiyah harus sudah selesai dengan urusan atau persoalan diri. Di Muhammadiyah bukan pengurus tapi pemimpin, berarti di atas level kader.
Jika kader inti penggerak, pemimpin mengelola, dia harus bisa memimpin diri dan organisasi. Diyah sepakat model kepemimpinan kolektif kolegial karena terbukti. Pemilihan berdasarkan kompetensi dan keputusan tidak subyektif, tapi obyektif.
Diyah turut menyoroti keberadaan Aisyiyah yang memberikan kontribusi besar untuk bangsa ini. Aisyiyah sebagai organisasi progresif bukan hanya di Indonesia, tapi dunia, bahkan tidak ada organisasi Muslim perempuan yang seprogresif Aisyiyah.
"Coba kalau tidak percaya dicari saja, organisasi perempuan mana yang punya universitas, hanya Aisyiyah," ujar Diyah.
Bagi Diyah, NA melihat Aisyiyah tidak hanya sebagai ibu, tapi panutan mengelola organisasi. NA selalu meniru Aisyiyah mengelola potensi, membangun organisasi dan sepakat kepemimpinan Aisyiyah mendatang perlu kolaborasi dengan anak muda.
"Kolaborasi senior dan kader muda yang inovatif, kreatif, memiliki banyak jaringan," kata Diyah.