REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Social engineering (soceng) yang termasuk kejahatan sektor keuangan era digital melibatkan perbankan masih marak terjadi di Indonesia. Banyak kasus nasabah kena 'begal rekening' dan kehilangan uangnya dalam sekejap.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi mengakui modus kejahatan di era digital ini memang semakin berkembang. Contohnya saja phishing yang merupakan tindakan memancing pengguna atau korbannya untuk mengungkapkan informasi rahasia.
"Pelaku kejahatan memanfaatkan kelengahan konsumen dalam menjaga data pribadi," katanya beberapa waktu lalu.
Nasabah dipancing dengan cara mengirimkan pesan palsu, dapat berupa e-mail, website, pesan media sosial, atau komunikasi elektronik lainnya. Seperti yang baru-baru ini terjadi pada nasabah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Beberapa waktu lalu viral selebaran yang mengatasnamakan BRI yang meminta nasabah untuk mengisi formulir jika tidak setuju atas tarif transfer baru sebesar Rp 150 ribu per bulan untuk unlimited transaksi. Modus soceng seperti ini perlu diberantas dengan literasi keuangan pada nasabah.
"Kita terus menghimbau perbankannya juga untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada nasabahnya," kata perempuan yang akrab disapa Kiki ini.
Menurutnya, OJK akan terus mengacu pada prinsip kehati-hatian dalam kerangka pengawasan secara mikro guna melindungi konsumen. Hal ini perlu didukung juga oleh konsumen yang belajar dan memahami bagaimana melakukan serangkaian pencegahan kejahatan tersebut. Secara umum, ia memberikan tips meminimalisir bahaya phising seperti:
1. Menjaga kerahasiaan data pribadi. Password, PIN, atau OTP dilarang untuk dibagikan ke siapa pun termasuk jika ada yang mengaku dari pihak bank, baik untuk penggunaan ATM dan atau mobile banking.
2. Memperbarui password secara berkala
3. Mengaktifkan fitur notifikasi transaksi
4. Cek histori transaksi secara berkala melalui aplikasi mobile banking
5. Menjaga keamanan seluler dan koneksi internet yang digunakan
OJK memberikan respons positif kepada bank-bank yang terus melakukan edukasi soceng ini secara aktif, termasuk yang dilakukan BRI.
Dihubungi terpisah, Perencana Keuangan dan Founder PT Solusi Finansialku Indonesia Melvin Mumpuni mengatakan soceng memang semakin meresahkan. Modusnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan semakin meyakinkan.
"Yang diakalin itu tidak lagi sistem, tapi nasabahnya sendiri, tiba-tiba ditelepon dapat hadiah, tawaran naik jadi nasabah prioritas, limit kredit ditingkatkan, dan lain-lainnya yang akan langsung meminta data-data pribadi," katanya.
Menurut Melvin, literasi harus semakin digencarkan pada masyarakat. Solusi harus dilakukan bersama oleh berbagai pihak. Tidak hanya regulator, tapi juga pihak perbankan, bahkan masyarakat itu sendiri perlu terus melakukan sosialisasi.
Hal ini karena pelaku kejahatan juga semakin canggih dalam melakukan modus operandinya. Bahkan, penipu tersebut banyak yang menggunakan nomor-nomor mirip seperti call center.
Saat menerima telepon atau menerima informasi dari perbankan yang meminta data pribadi, masyarakat harus langsung waspada. Nasabah harus selalu mengonfirmasi ulang informasi yang diterima melalui call center resmi yang dimiliki oleh institusi keuangannya.
"Setiap ada telepon info apa pun, misal limit kredit dinaikan atau tawaran tertentu, bilang terima kasih saja dan langsung konfirmasi dengan menelepon sendiri call center banknya," kata dia.
Menelpon sendiri call center lembaga keuangan akan meminimalisir terjadinya soceng. Apalagi saat ini call center bank atau customer service bank sudah banyak yang gratis atau menggunakan pesan bebas biaya.
Melvin menekankan, semakin banyak pihak yang menyuarakan waspadai kejahatan soceng, maka masyarakat akan semakin terliterasi. Literasi juga harus dilakukan di segala lini atau platform baik media-media resmi maupun media sosial. Perbankan juga diminta untuk mengetatkan sistemnya agar bisa meminimalisir jumlah korban.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri telah memberikan 226.267 layanan berupa permintaan informasi dan pengaduan dari berbagai kanal sejak awal tahun sampai 23 September 2022. Dari jumlah tersebut, OJK melaporkan telah menerima 10.109 pengaduan masyarakat. Sebanyak 49,5 persen merupakan pengaduan sektor perbankan, 50 persen pengaduan di sektor industri keuangan non bank (IKNB), dan sisanya merupakan layanan sektor pasar modal.