Senin 21 Nov 2022 12:28 WIB

Bir, Budaya Minum Alkohol, dan Uang Besar di Dalamnya

Perusahaan bir diminta berinovasi menyediakan minuman tanpa alkohol di negara Islam.

Rep: Rahmat Fajar / Red: Israr Itah
 Kaleng Budweiser dijejerkan di pendingin media center Piala Dunia di Pusat Konvensi Nasional Qatar, Ahad, 20 November 2022. Penyelenggara Piala Dunia melarang penjualan semua bir dengan alkohol di delapan stadion yang digunakan untuk sepak bola. turnamen.
Foto: AP/Ashley Landis
Kaleng Budweiser dijejerkan di pendingin media center Piala Dunia di Pusat Konvensi Nasional Qatar, Ahad, 20 November 2022. Penyelenggara Piala Dunia melarang penjualan semua bir dengan alkohol di delapan stadion yang digunakan untuk sepak bola. turnamen.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Ketika Qatar secara mendadak melarang penjualan bir di stadion Piala Dunia Qatar 2022, terjadi pro dan kontra mengenai kebijakan itu. FIFA langsung bernegoisasi karena pelarangan itu akan berdampak kepada sponsor utama Budweiser. Namun pada akhirnya FIFA mengalah dan ikut terhadap budaya dan peraturan yang ada di negara tuan rumah. Bir tetap dijual, tapi di tempat yang disediakan khusus.

Artikel yang ditulis oleh James Brownsell di Aljazeera membahas tentang hubungan bir, olahraga, dan laki-laki. Tiga elemen itu dikatakannya telah saling berkaitan sejauh ini. Perayaan kemenangan di dalam turnamen olahraga tak sedikit yang dirayakan dengan sampanye.

Baca Juga

Profesor Steve Jackson dari Universitas Otago di Selandia Baru menyampaikan darimana akar hubungan alkohol dan olahraga. Menurutnya itu setidaknya tradisi itu terjadi sejak zaman Romawi. Mereka waktu itu menggunakan roti dan sirkus termasuk anggur dan berbagai alkohol untuk menenangkan warga dan menghilangkan kerusuhan sosial.

Situasi itu disadari oleh pengiklan Amerika Serikat untuk memperkuat daya pasar produknya di tim olahraga pada masa awal radio populer. Pembuat bir regional mensponsori tim bisbol lokal dengan harapan membangun loyalitas persilangan, di mana kesetiaan dan perilaku penggemar akan dikaitkan dengan loyalitas pada bir lokal.

Menurut Jackson olahraga, bir dan maskulinitas membentuk “Tritunggal Suci” yang dinaturalisasikan secara sistematis saat mereka berinteraksi dengan pasar dan gambaran gender yang lebih luas dalam budaya kontemporer. Dalam olahraga tingkat elite, laki-laki secara tradisional dianggap sebagai peserta dan pendukung utama. Di saat bersamaan laki-laki sulit mendiskusikan masalah pribadi, emosi atau kesehatan mentalnya.

Menurut Paul Widdop, seorang akademisi ekonomi geopolitik olahraga di Universitas Manchester, bir memfasilitasi interaksi di antara pria dan juga semakin banyak wanita. Hal itu dinilai sebagai bagian dari budaya olahraga yang diciptakan oleh generasi penggemar yang berinteraksi dengan keterikatan simbolis tidak hanya pada merek bir tetapi juga pada pub. Itu pula yang menyebabkan sebagian besar lapangan sepakbola Victoria terletak di sebalah pub.

Perputaran uang bir di dunia olahraga sangat besar. Sebanyak 30 merek minuman beralkohol terkemuka menghabiskan lebih dari 760 juta dolar AS (Rp 11,94 triliun) setiap tahun! Ini terbagi dalam lebih dari 280 kesepakatan aktif untuk mensponsori kompetisi, klub dan atlet terbesar di industri olahraga. Data itu menurut perusahaan intelijen pasar olahraga Sportcal.

Heineken menghabiskan lebih dari 118,3 juta dolar AS per tahun untuk sponsor olahraga. Saat ini, mereka memiliki 25 kesepakatan aktif termasuk kesepakatan tahunan senilai 21,4 juta dolar AS dengan Formula Satu dan kesepakatan senilai 10 juta dola AS dengan Major League Soccer. Sponsor tahunan NFL senilai 230 juta dolar AS dari Bud Light dari total pengeluaran untuk olahraga senilai 249,7 dolar AS yang menjadikannya sebagai pembelanjaan iklan olahraga terbesar di industri ini.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement