Hampir semua pertandingan Maroko di Piala Dunia kali ini, terkecuali melawan Kanada, dicap media barat dengan kata "upset". Kemenangan-kemenangan Maroko hingga berhasil mencapai semifinal dikira capaian mengejutkan sesaat saja. Faktanya, tak ada yang namanya hasil instan. Kejayaan sepak bola Maroko adalah buah dari bibit yang ditanam nyaris satu setengah dekade lalu.
Kala itu, pada 2009, Federasi Sepakbola Kerajaan Maroko (FMRF) alias PSSI-nya Maroko, melancarkan transformasi sepak bola besar-besaran. Dengan dukungan Raja Muhammad VI, mereka melancarkan proyek pembangunan besar-besaran infrastruktur sepakbola.
Tak jauh dari Rabat, misalnya, berdiri Kompleks Sepakbola Muhammad VI. Merujuk media Maroko, Aujourdhui, ada delapan lapangan sepak bola berstandar FIFA pada kompleks tersebut. Lengkap dengan empat hotel berbintang lima, dan fasilitas kesehatan yang sangat layak. Salah satu lapangan dalam ruangannya memiliki pengatur iklim sendiri.
Melalui proyek restrukturisasi sepakbola itu, pembinaan usia muda digencarkan. Tak hanya lelaki, sepakbola perempuan juga digencarkan pembinaannya. Selain membina talenta lokal, proyek itu juga menyertakan upaya mengincar talenta-talenta keturunan Maroko yang lahir dan bermain di mancanegara. Restrukturisasi sepak bola Maroko juga menyasar daerah tertinggal, serta menjalankan kurikulum olahraga di sekolah-sekolah.
Kemudian pada 2013, mantan menteri keuangan Fauzi Lekjaa ditunjuk sebagai ketua FMRF. Salah satu misi utamanya merestrukturisasi kompetisi lokal sebagai basis untuk tim nasional yang perkasa. Saat ini, hanya Maroko dari semua negara di dunia yang memiliki liga perempuan profesional dengan dua divisi.
Tahun berjalan, transformasi itu mulai menunjukkan hasil. Pembinaan pemain muda di Kompleks Sepakbola Muhammad VI melahirkan talenta-talenta baru. Diantaranya, pemain belakang tangguh Nayef Aguerd yang kemudian bermain di West Ham United di Liga Premier. Selain itu, ada Youssef En-Nesyri, penyerang klub Sevilla sekaligus pencetak gol kemenangan atas Portugal.
Sementara talenta-talenta keturunan Maroko yang lahir di mancanegara juga berhasil dijaring. Dalam tim di Piala Dunia 2022 ini, ada 14 pemain yang lahir di luar negeri namun memilih membela tanah leluhur mereka. Diantaranya Hakim Ziyech dan Sofyan Amrabat yang lahir di Belanda, Achraf Hakimi dari Spanyol, juga Yassine Bounou dari Kanada.
Klub-klub liga lokal, baik lelaki dan perempuan, kian mentereng. Pelatih Maroko Walid Regragui yang kini terbukti sebagai salah satu jenius taktik sepakbola itu adalah jebolan kompetisi lokal. Ia memulai karir dari klub FUS yang bermarkas di Rabat, kemudian ke Qatar sebentar lalu menyeberang ke Kasablanka untuk mengasuh Al Wydad.
Sejak transformasi, klub-klub Maroko langganan juara piala antarklub negara-negara Afrika. Sudah dua tahun belakangan, klub Maroko merajai Kejuaraan Negara-negara Afrika yang hanya boleh diikuti pemain lokal. Sementara tahun ini, Al Wydad menjuarai Liga Champions Afrika. Klub Maroko juga menjuarai Piala Konfederasi Afrika, Piala Super Afrika, dan Liga Champions Perempuan Afrika.
Pada akhirnya, berbagai inisiatif transformasi sepakbola itulah yang berujung pada tim nasional Maroko sekuat sekarang, tim yang paling sukses dalam sejarah bangsa tersebut, juga tim Afrika dan Arab paling sukses di Piala Dunia sejauh ini.
Dukungan penuh pemerintah, pembinaan pemain muda yang serius, pengelolaan liga lokal yang profesional, ketua federasi yang benar-benar memikirkan kemajuan sepakbola, serta pemain keturunan yang berhasil dibujuk pulang; seluruhnya jalan panjang yang berujung pada kebanggaan buat Maroko, juga bagi satu benua. Kiranya jika Indonesia ingin punya timnas yang kuat seperti Maroko, demikianlah juga resepnya.