REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Peluncuran Perppu tersebut disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Disampaikan bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Sekretaris Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan, sampai Sabtu (21/12) belum ada naskah perppu yang dapat diakses baik oleh DPR maupun masyarakat.
"Kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini dapat dikatakan sebagai satu bencana UU karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan kepada hirarki perundang-undangan di negeri ini," kata Ledia, akhir pekan.
Anggota Badan Legislasi DPR RI ini menuturkan, UU Cipta Kerja 11/2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK November 2021. MK memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan.
Jadi, MK secara lugas memerintahkan pembentuk UU melakukan perbaikan dengan tenggat November 2023. Namun, bukannya melaksanakan amanah perintah perbaikan UU bersama DPR, Presiden Jokowi malah menerbitkan produk hukum baru berupa Perppu.
"Yang diamanahkan apa, yang dikerjakan apa," ujar Ledia.
Dia berpendapat, langkah Presiden Jokowi ini menunjukkan betapa pemerintah malas, menggampangkan pelanggaran hirarki perundang-undangan dan melecehkan DPR. Pemerintah masih punya waktu satu tahun melaksanakan perintah MK memperbaiki UU Cipta Kerja.
Seharusnya, melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR. Tapi, yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu yang berarti mengabaikan pelibatan publik dan abai pada ketundukan pada hirarki perundang-undangan dan melecehkan DPR.
Yang mana, sesuai UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat 1 dan 2 miliki kuasa membentuk UU bersama Presiden. Walau Presiden memiliki hak prerogratif menerbitkan Perppu, namun syarat kehadiran Perppu No 2 Tahun 2022 tidak kuat dan terlalu dipaksakan.
Salah satu syarat kehadiran Perppu kegentingan yang memaksa dan ketidakmungkinan memunculkan UU dengan prosedur biasa. Dia mempertanyakan, situasi genting yang kita hadapi dan ketidakmungkinan memunculkan UU dengan prosedur biasa.
"Yang ada justru keputusan pemaksaan dari Presiden yang mencederai kehidupan demokratis," kata Ledia.
Ledia merasa, alasan kegentingan ancaman resesi global, peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi, bahkan dikaitkan perang Rusia-Ukraina berlebihan. Pemerintah sendiri yang mengingatkan betapa Indonesia siap hadapi krisis ekonomi global.
Terlebih, pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positif lima persen. Masih ada harapan positif menghadapi tahun-tahun mendatang, sehingga penerbitan Perppu sekali lagi tidak memiliki cukup alasan kecuali memuaskan kemauan pengusaha.
Untuk itu, Ledia mendorong DPR menolak Perppu ini dan meminta pemerintah taat perintah MK memperbaiki UU Cipta Kerja. Buka partisipasi publik, dengar aspirasi berbagai pemangku, duduk bersama DPR membahas UU demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
"Itu baru langkah demokratis yang berlandaskan nilai Pancasila, musyawarah mufakat. Jangan menutup tahun dengan menjadi pemerintah yang otoriter, pro pengusaha dan meninggalkan rakyat," ujar Ledia.