REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai, ekonomi nasional pada 2022 berpeluang tumbuh sebesar 5 sampai 5,1 persen pada 2022. Prediksi pertumbuhan itu merupakan revisi yang lebih optimistis dibanding perkiraan Core sebelumnya yang hanya di kisaran empat sampai lima persen.
"Dalam pandangan Core, ekonomi Indonesia memiliki ciri khas dan daya tahan tersendiri yang membedakannya dengan banyak negara lain, termasuk peer countries. Memang faktor eksternal, khususnya harga komoditas, berpengaruh besar dalam mendorong pertumbuhan sepanjang 2022," ujar Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi Republika, Ahad (1/1/2023).
Menguatnya permintaan domestik, lanjut dia, khususnya dorongan pent-up demand yang sejalan dengan suksesnya pengendalian pandemi, tidak kalah signifikan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang menyamai dan bahkan berpotensi melampaui kondisi prapandemi.
Memandang ekonomi dunia 2023, meski diprediksi tumbuh lebih lambat, Indonesia sebenarnya dinilai masih melihat peluang agar tidak jatuh ke jurang resesi. Ekonomi negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa mungkin menjadi rentan akibat lonjakan inflasi dan pengetatan moneter. Hanya saja, Cina yang menjadi mitra dagang terbesar banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan indikasi perbaikan, sejalan dengan semakin terkendalinya penyebaran Covid-19.
Terkait inflasi global, kata Faisal, memang masih berpotensi meningkat. Akan tetapi, Core Indonesia memperkirakan tekanannya cenderung lebih rendah dibanding tahun lalu. Diprediksi ekonomi nasional mampu tumbuh 4,5 persen sampai 5 persen pada 2023.
"Konsumsi rumah tangga diprediksi tetap kuat dan melampaui tingkat konsumsi prapandemi, meskipun pertumbuhannya melambat marginal akibat tekanan global. Tingkat inflasi diprediksi lebih rendah dan tidak banyak mengganggu tingkat konsumsi secara agregat, walaupun masih akan menekan daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan kemungkinan juga masih menahan pemulihan mobilitas jarak jauh," tuturnya.
Sementara, pengetatan moneter diprediksi lebih terbatas karena berkurangnya tekanan inflasi global dan domestik. Investasi diprediksi akan kembali menjadi penyumbang kedua terbesar pertumbuhan ekonomi 2023.
Pertumbuhan investasi swasta tidak banyak terganggu oleh tekanan ekonomi global. Meski begitu, surplus perdagangan diprediksi menyempit karena pelemahan permintaan sebagian negara tujuan ekspor utama dan juga pelemahan harga komoditas, khususnya komoditas nonenergi.