REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Direktur Program Kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr. Michael Ryan mengkritik definisi sempit yang diterapkan China untuk memutuskan kematian akibat Covid-19. Definisi terbaru itu diberlakukan setelah China melonggarkan kebijakan nol-Covid dan kini harus kembali menghadapi lonjakan infeksi.
“Kami percaya definisi itu terlalu sempit,” kata Ryan, Rabu (4/1/2023), mengomentari tentang harus adanya faktor kegagalan pernapasan terkait dengan infeksi Covid-19 agar suatu kematian bisa tercatat sebagai kematian akibat Covid-19 di China
Dia menekankan, sangat penting untuk memiliki informasi akurat tentang bagaimana Covid-19 menyebar dan dampak sebenarnya yang ditimbulkannya. Ryan menyarankan dan mendorong agar profesional kesehatan individu dapat membantu memberikan gambaran yang lebih presisi.
“Kami tidak melarang dokter dan perawat melaporkan kematian dan kasus ini. Kami memiliki pendekatan terbuka untuk dapat merekam dampak sebenarnya dari penyakit di masyarakat,” ucap Ryan.
Menurutnya, saat ini WHO belum memiliki data komprehensif tentang lonjakan infeksi atau penyebaran kasus Covid-19 di China termasuk angka kematiannya. “Kami percaya bahwa angka saat ini yang diterbitkan dari China kurang mewakili dampak sebenarnya dari penyakit tersebut dalam hal penerimaan rumah sakit, dalam hal penerimaan ICU, dan khususnya dalam hal kematian,” kata Ryan.
Kendati demikian, Ryan tetap mengakui bahwa dalam beberapa pekan terakhir, China telah meningkatkan keterlibatannya dengan WHO. “Kami berharap dapat menerima dapat yang lebih komprehensif,” ujarnya.
Pada Rabu lalu, WHO mengungkapkan, wabah Covid-19 yang kini tengah menjalar kembali di China didominasi subvarian Omicron BA.5.2 dan BF.7. Kedua subvarian itu menyumbang 97,5 persen dari semua infeksi lokal.
WHO mengungkapkan, data tersebut didasarkan pada analisis lebih dari 2.000 genom oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China. Menurut WHO, data itu pun sejalan dengan genom para pelancong dari China yang diserahkan ke database global oleh negara lain. Tidak ada varian baru atau mutasi signifikan yang diketahui atau dicatat dalam data sekuens yang tersedia untuk umum.
Data tersebut berasal dari pengarahan oleh para ilmuwan terkemuka China kepada kelompok penasihat teknis WHO pada Selasa (3/1/2023). Hal itu karena meningkatnya kekhawatiran tentang penyebaran Covid-19 yang cepat di Negeri Tirai Bambu. WHO telah meminta para ilmuwan untuk menyajikan data terperinci tentang pengurutan virus, untuk mendapatkan kejelasan yang lebih baik tentang rawat inap, kematian, dan vaksinasi.
Pada 7 Desember lalu, China melonggarkan kebijakan nol-Covid yang telah menempatkan ratusan juta warganya di bawah penguncian atau lockdown. Namun sejak saat itu, penyebaran Covid-19 di sana kembali melonjak. Sistem dan fasilitas kesehatan di sejumlah wilayah di China harus bergulat lagi dengan gelombang pasien, terutama lansia. Namun tak diketahui pasti seberapa besar penularan yang terjadi. Hal itu karena China memutuskan menyetop penerbitan data harian tentang infeksi Covid-19.