REPUBLIKA.CO.ID, BELGRADE -- Presiden Serbia Aleksandar Vucic mengatakan pada Rabu (4/1/2023), bahwa seruan Uni Eropa (UE) meminta negaranya untuk bergabung dalam sanksi terhadap Rusia merupakan campur tangan brutal dalam urusan internal negara Balkan. Penolakan itu tetap dipegang teguh meski Belgrade telah meminta untuk bergabung untuk masuk dalam keanggotaan UE.
“Terima kasih banyak telah mencampuri urusan internal kami dengan cara yang brutal,” katanya mengacu pada seruan Barat.
Dalam pidato akhir tahun kepada warga, Vucic memuji pencapaian ekonomi dan politik negaranya. Dia membandingkan dirinya dengan serigala yang tidak dapat dijinakkan di bawah tekanan internasional.
Meskipun secara resmi mencari keanggotaan UE, Serbia telah berulang kali mengabaikan seruan untuk menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan blok 27 negara. Salah satunya adalah bergabung dengan sanksi internasional terhadap Moskow atas perang di Kiev.
Atas sikap tersebut, muncul saran yang meningkat dari negara-negara anggota UE bahwa tawaran keanggotaan Serbia harus ditangguhkan. Penangguhan ini bisa berlaku sampai sesuai dengan kebijakan luar negeri blok tersebut.
Serbia tetap menjadi satu-satunya negara Eropa selain Belarusia yang menolak untuk memberlakukan sanksi terhadap Rusia, sekutu Slavia-nya. Rusia telah mendukung klaim Serbia atas bekas provinsi Kosovo yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 2008 dengan dukungan Barat.
Vucic mengatakan bahwa para pejabat tinggi Amerika Serikat (AS) dan UE akan mengunjungi Serbia dalam beberapa hari ke depan. Pertemuan ini untuk membahas kemungkinan solusi atas ketegangan di Kosovo.
Masalah Kosovo dengan Serbia telah memuncak dalam beberapa pekan terakhir. Serbia mengerahkan pasukan ke perbatasan bersama. Kosovo Utara memiliki etnis minoritas Serbia yang cukup besar.
“Kami menginginkan perdamaian, dan kami nyaris tidak menyelamatkannya,” kata Vucic.
“Bukan karena kesalahan kita sendiri. Kami belum memprovokasi siapa pun bahkan tidak untuk satu detik pun, kecuali beberapa orang menganggapnya sebagai provokasi bahwa kami melihat orang-orang kami di Kosovo sebagai warga negara kami," ujarnya.