REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nawir Messi mengingatkan, adanya risiko nilai tukar rupiah dapat melampaui target dalam APBN 2023 yang sebesar Rp 14.800 per dolar AS. Dia menjelaskan, risiko tersebut sudah terjadi pada tahun lalu yang mana nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 15.737 per dolar AS pada akhir 2022 atau memiliki margin sebesar Rp 1.387 dibanding target APBN yang sebesar Rp 14.350.
"(Margin) ini besar bagi perekonomian, dunia usaha, bagi APBN," kata Nawir dalam diskusi publik bertajuk 'Catatan Awal Ekonomi Tahun 2023' secara daring di Jakarta, Kamis (5/1/2023).
Dia mengatakan, risiko tersebut dapat terulang karena dolar AS masih akan menguat terhadap mata uang negara lain pada 2023. Meskipun, hal itu diperkirakan cenderung melandai.
"Bisa jadi (margin) seperti ini akan terjadi pada tahun berjalan 2023, karena kecenderungan global yang tetap mengalami ketidakpastian dan gejolak," kata Nawir.
Ditambah, dia memperkirakan, bank sentral AS Federal Reserve (Fed) masih akan menaikkan suku bunga acuannya pada 2023. Meskipun, hal itu tidak seagresif seperti tahun lalu.
"Saya kira, sepanjang 2023 ini nilai tukar tetap harus diwaspadai, masih banyak pekerjaan besar dalam mengelola nilai tukar di sektor moneter," kata Nawir.
Dia pun memperkirakan, bank sentral AS tersebut akan menaikkan suku bunga acuannya maksimum 50 basis poin (bps) pada awal 2023 ini.
"Saya kira Fed tetap akan menaikkan suku bunga acuan, meskipun tidak seagresif kenaikan sebelumnya yang 50-75 bps. Saya kira tidak akan seketat itu," ujarnya.
Sepanjang 2022, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tujuh kali atau sebesar 425 bps, dari level 0,00-0,25 persen pada Februari 2022 ke level 4,25-4,5 persen pada Desember 2022.
Kebijakan Fed tersebut telah memicu penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia. Hal itu tecermin dari indeks dolar AS yang sempat menyentuh level tertingginya di angka 114 pada Oktober 2022.