Jumat 06 Jan 2023 08:21 WIB

Soal Petisi Kembalikan WFH di Jakarta, Pakar: Yuk, Pakai Transportasi Publik

Pakar sebut petisi WFH adalah hal wajar karena peningkatan macet di ibukota

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Warga turun dari angkutan umum di Stasiun Tebet, Jakarta. Belakangan muncul petisi kembalikan Work From Home (WFH) di Jakarta. WFO membuat macet jadi salah satu yang disorot dalam petisi, dirasa mempengaruhi pekerja menjadi stres dan berdampak terhadap performa kerja yang kurang optimal.
Foto: Republika/Prayogi.
Warga turun dari angkutan umum di Stasiun Tebet, Jakarta. Belakangan muncul petisi kembalikan Work From Home (WFH) di Jakarta. WFO membuat macet jadi salah satu yang disorot dalam petisi, dirasa mempengaruhi pekerja menjadi stres dan berdampak terhadap performa kerja yang kurang optimal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan muncul petisi kembalikan work from home (WFH) di Jakarta. Bekerja dari kantor atau work from office (WFO) yang membuat macet menjadi salah satu yang disorot dalam petisi. Hal itu dirasa memengaruhi pekerja menjadi stres dan berdampak terhadap performa kerja yang kurang optimal.

Ketua Pusat Studi Transportasi (Pustral) UGM, Ikaputra mengatakan, petisi yang disampaikan cukup logis. Terlebih, pengalaman saat pandemi banyak pihak seperti pekerja kantoran yang merasakan sejumlah manfaat dengan sistem kerja secara WFH.

Mulai dari efisiensi waktu, penghematan bahan bakar, menekan emisi gas, polusi akibat penggunaan kendaraan menuju tempat kerja dan lainnya. Ikaputra menilai, jauh sebelum pandemi sebenarnya sudah dikenalkan teknologi komunikasi daring.

Namun, masih jarang dipakai mendukung proses kerja. Pandemi memaksa sebagian besar orang menggunakan mendukung kerja dari rumah. Dari situasi itu muncul pemahaman keuntungan penggunaan teknologi komunikasi daring untuk pekerja.

Meski begitu, Ikaputra mengingatkan, perlu dipahami memang ada banyak sektor, termasuk transportasi yang tidak bergerak dan tidak produktif. Terutama, mereka yang bekerjanya harus bertatap muka dan manfaatkan mobilitas, bukan kantoran.

"Ketika tidak bergerak, di rumah saja, ada banyak orang yang tidak mendapatkan penghasilan," kata Ikaputra, Kamis (5/1).

Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM ini menyampaikan, persoalan yang sebenarnya bukan WFH atau WFO. Namun, lebih ke penggunaan sistem komunikasi yang memudahkan orang-orang berkegiatan dalam berbagai sisi kehidupan.

"Bukan WFH atau WFO tapi pengelolaan tentang komunikasi online atau offline ini yang lebih penting, semuanya harus jadi opsi," ujar Ikaputra.

Soal macet setelah kembalinya WFO, Ikaputra merasa, bisa ditekan bila masyarakat memiliki kesadaran dan kemauan memanfaatkan transportasi publik. Sayang, masih banyak yang memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat mobilitasnya.

"Untuk itu, penting membangun mindset dan budaya memahami  keuntungan menggunakan transportasi publik itu banyak manfaatnya," kata Ikaputra.

Ikaputra melihat, persoalan transportasi di Jakarta ada di layanan dan jumlah penduduk. Namun, Jakarta terus berbenah untuk mewujudkan transportasi publik yang lebih baik dengan melakukan penambahan dan perbaikan berbagai fasilitas.

Belum lama, diresmikan Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral dan terbesar di Indonesia, tingkatkan kapasitas jumlah penumpang yang transit. Lima tahun lalu, ada 800.000 orang per hari dan sekarang ada sekitar 1,1 juta-an orang per hari.

Artinya, semakin banyak orang yang menggunakan dan ada perbaikan layanan yang menjadi semakin baik. Bila kebijakan WFH kembali diterapkan, Ikaputra menyebut, justru akan menghambat atau malah menghentikan kerja dari transportasi publik.

"Perputaran ekonomi di sektor transportasi akan berhenti, perputaran ekonomi hanya terjadi di kantor. Ini yang harus dipahami juga," ujar Ikaputra.

Senada, pengamat transportasi UGM, Prof Ahmad Munawar melihat, WFH bukan jawaban mengatasi persoalan kemacetan transportasi di Jakarta. Macet bisa diselesaikan dengan fasilitas angkutan umum yang memadai serta pengurangan kendaraan pribadi.

Munawar menilai, dari semua kota di Indonesia, penggunaan angkutan terbaik di Jakarta. Ada transportasi umum yang tergolong lengkap mulai MRT, Trans Jakarta, ada integrasi dan keterpaduan angkutan umum dengan kabupaten kota di sekitar.

"Tapi, jumlah penduduk yang sedemikian banyak, perlu diperbaiki lagi. Persentase penggunaan angkutan umum Jakarta termasuk tinggi, tapi banyak yang tinggal di luar Jakarta, sehingga perlu penambahan angkutan umum dan subsidi yang tinggi," kata Munawar.

Sedangkan kebijakan bekerja akan dilakukan secara WFH atau WFO, sebaiknya tidak ditetapkan sama rata setiap sektor. Pengaturan kebijakan sistem kerja dilakukan instansi masing-masing disesuaikan jenis pekerjaan ataupun kondisi pegawainya.

Misal, sektor pendidikan. Dari pengalaman mengajar selama pandemi, pembelajaran berjalan kurang efektif dengan WFH menggunakan sistem daring. Ada hal-hal yang tidak tercapai maksimal seperti interaksi dan diskusi dosen dengan mahasiswa.

Namun, saat pembelajaran kembali dilakukan di kampus, pembelajaran berlangsung lebih efektif, interaksi berjalan baik, sehingga kemampuan mahasiswa berdiskusi sangat tinggi. Karena itu, harus dilihat kalau bisa efisiensi dan efektivitas.

"Kalau bisa efisien dan efektif WFH ya silakan, tapi kalau tidak ya kerja di kantor," ujar Munawar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement