REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dituding menghapuskan demokrasi di Israel, di tengah perselisihan atas usulan reformasi peradilan.
"Ini bukan reformasi peradilan, ini adalah perubahan rezim yang ekstrem... ini memisahkan Israel dari keluarga negara-negara liberal," kata pemimpin oposisi, Yair Lapid, di Twitter pada Senin (9/1/2023).
Lapid, yang adalah mantan perdana menteri, memperingatkan bahwa perubahan yang diusulkan akan memungkinkan koalisi pemerintah sekarang untuk membungkam siapa pun yang menentangnya, dan akan mengubah hakim menjadi politikus.
"Para hakim akan menjadi hakim pemerintah," kata Lapid dalam pertemuan partai yang ia dirikan, Yesh Atid.
Menteri Kehakiman Yariv Levin merencanakan reformasi komprehensif sistem peradilan yang, jika diberlakukan, akan menjadi perubahan paling radikal dalam sistem pemerintahan di Israel.
Perubahan yang diusulkan akan sangat membatasi kekuasaan Mahkamah Agung, dan memberi pemerintah kekuasaan untuk memilih hakim, srta mengakhiri penunjukan penasihat hukum untuk kementerian oleh jaksa agung.
Pada Ahad (8/1/2023), Netanyahu membela reformasi peradilan yang diusulkan, dengan mengatakan bahwa perubahan tersebut bertujuan untuk "mewakili keinginan para pemilih."
Reformasi peradilan yang direncanakan juga dikecam oleh mantan menteri pertahanan Benny Gantz, yang mengatakan perubahan itu akan menyebabkan "perang saudara", dan akan "berdampak fatal" pada keamanan nasional Israel.
Pemerintahan Netanyahu dilantik pada 29 Desember 2022 pascapemilu pada November.
Dari hasil pemilu, kubunya yang beraliran kanan itu dengan mudah mendapat dukungan mayoritas untuk membentuk pemerintahan baru.