REPUBLIKA.CO.ID,Mencerdaskan kehidupan bangsa, pada pembukaan UUD 1945 menjadi alasan
utama cikal bakal berbagai institusi pendidikan di Indonesia. Demi peningkatan mutu
kementerian pendidikan mengeluarkan parameter pendidikan. Termasuk kebijakan yang
kontroversial sekarang ini: jurnal ilmiah.
Seperti yang diketahui, beberapa waktu lalu Dirjen Dikti mengerluarkan surat edaran
berisi ketentuan terkait syarat kelulusan mahasiswa S-1, S-2 dan S-3. Mengejutkan bahwa
sarjana S-1 pun kini wajib memublikasikan makalah di jurnal ilmiah.
Tulisan ilmiah berarti berdasarkan hasil fakta-fakta, serta pemikiran logis, sistematis,
dan objektif. Keseluruhan ini tentu saja diperoleh melalui penelitian ilmiah. Tak sedikit
waktu yang diperlukan dalam melaksanakan penelitian ilmiah ini.
Apabila menghitung hingga waktu kelulusan mahasiswa semester akhir memiliki
waktu kotor sekitar lima bulan. Mengapa waktu kotor? Karena masing-masing universitas
memiliki waktu berbeda-beda terkait kelulusan mahasiswanya.
Artinya saat ini dalam kurun waktu tersebut mahasiswa tingkat akhir S-1 dituntut
membuat dua karya: skripsi dan jurnal ilmiah, yang keduanya sama-sama memakan waktu
lama. Mahasiswa S-1 juga perlu untuk menyiapkan dana ekstra guna mencetak jurnal serta
penelitiannya.
Realitanya kini Malaysia sendiri mengalokasikan lebih dari 25 persen APBN untuk
pendidikan dan murni untuk membiayai pendidikan. Sedangkan anggaran pendidikan di
negeri ini 20 persen, itu pun juga dipakai untuk membayar gaji guru dan dosen, serta membiayai
fungsi pendidikan di kementerian dan lembaga di mana ada sekitar 18 K/L.
Fakta lainnya menyangkut masalah dana. Dukungan dana riset ilmiah di Malaysia
cukup besar mencapai kisaran 30 persen dari APBN pendidikan mereka. Sedangkan di Indonesia?
Pada akhirnya sebelum membuat kebijakan ada baiknya menelaah dulu, sudah sejauh
mana kesiapan negara ini? Mau dibawa kemana mutu pendidikan apabila sebuah kebijakan
seperti terburu-buru?
Sisi positif kebijakan ini kemungkinan memang akan memotivasi mahasiswa sisi
ilmiah para mahasiswa Indonesia, tetapi apakah tidak terlalu terburu-buru memberi penekanan pada persyaratan kelulusan?
Penulis: Lady Hafidaty RK. (Geografi UI 2010)