REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Nuning Rodiyah, menyatakan, pihaknya punya ketentuan untuk mencegah promosi atau kampanye lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Dia memastikan, televisi saat ini jauh lebih aman dari upaya tersebut ketimbang media sosial.
"KPI sudah mengeluarkan surat edaran sehingga kalau ada salah satu stasiun televisi ataupun radio yang kemudian berupaya melakukan itu tentunya kami punya koridor untuk melakukan pembinaan, klarifikasi, sanksi," kata Nuning kepada Republika, Senin (23/1/2023).
Nuning menerangkan, surat edaran yang dikeluarkan KPI pada 2016 itu bernomor 203/K/KPI/02/2016. Dia juga menjelaskan, prinsip dari penyiaran adalah menghadirkan informasi yang informatif-edukatif kepada masyarakat. Kalaupun hiburan, yang harus disuguhkan adalah hiburan yang sehat.
"Maka jangan sampai kemudian hal tersebut, kemasan-kemasan program siaran itu adalah kemasan-kemasan yang berupaya mempromote perilaku LGBT," kata dia.
Menurut Nuning, sejak surat edaran tersebut dikeluarkan, pengawasan sudah menjadi lebih ketat. Nuning menyampaikan, berdasarkan pemantauan yang KPI lakukan, sejauh ini tidak ada muatan-muatan siaran yang mengarah kepada indikasi promosi perilaku LGBT.
"Jadi kalau kemudian bicara perbandingan dengan media sosial seperti Tiktok dan lain sebagainya, itu saya pastikan televisi jauh lebih aman dari upaya promosi perilaku LGBT," terang Nuning.
Di samping itu, dia menerangkan, ketika bicara LGBT, koridor yang dikedepankan oleh KPI adalah tetap menghormati apa yang kemudian menjadi orientasi seksual seseorang. Tapi, dalam rangka pengawasan dalam penyiaran ada tiga koridor yang berlaku.
Koridor pertama, kata dia, berkaitan dengan prestasi. Ketika seseorang dengan orientasi seksual berbeda menyampaikan atau memvisualisasilan prestasi yang dia miliki, maka tidak ada satu klausul pasal pun yang dapat dikenakan kepada yang bersangkutan.
"Misal dia ini adalah penyanyi, maka dia nyanyi secara profesional, maka itu tidak ada larangan sama sekali yang kemudian bisa dikenakan kepada yang bersangkutan meskipun yang bersangkutan punya orientasi seks yang berbeda," kata dia.
Menurut Nuning, koridor kedua dan ketigalah yang dapat dilihat konteksnya ketika ditampilkan di dunia penyiaran, yakni gimik dan gestur yang memperlihatkan seseorang berlaku keperempuan-perempuanan atau kelaki-lakian. Hal itu, kata dia, tentu akan menjadi catatan bagi KPI.
"Karena apa? karena ini ada potensi-potensi mempromote perilaku-perilaku LGBT, orientasi seksual yang berbeda. Yang ini secara norma dan etika yang ada di masyarakat Indonesia tentunya bertentangan," ujar dia.