REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Gedung Putih pada Selasa (24/1/2023) mencalonkan utusan khusus untuk hak asasi manusia (HAM) di Korea Utara (Korut). Jabatan ini telah kosong sejak 2017 di tengah perdebatan tentang bagaimana masalah HAM sesuai dengan upaya untuk melawan program senjata nuklir Pyongyang.
"Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mencalonkan Julie Turner, seorang diplomat lama dan direktur Kantor Asia Timur dan Pasifik saat ini di Biro Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Tenaga Kerja di Departemen Luar Negeri," kata pernyataan Gedung Putih pada Selasa.
Pernyataan tersebut mengatakan, Turner dapat berbicara bahasa Korea dan sebelumnya bekerja di bidang HAM Korut sebagai asisten khusus di kantor utusan. Posisi utusan khusus ini menjadi kontroversial karena pemerintahan AS sebelumnya ingin berunding dengan Korut menyoal denuklirisasi.
Beberapa aktivis mengatakan HAM telah dikesampingkan demi prioritas keamanan nasional. Setelah menjabat pada 2021, Biden berulang kali bersumpah bahwa HAM akan menjadi pusat kebijakan luar negerinya, tetapi posisi utusan HAM Korut tetap kosong.
Duta Besar Korea Selatan untuk HAM Korut sempat mengungkapkan kekecewaannya tahun lalu karena pemerintahan Biden belum menunjuk utusan untuk masalah tersebut pada saat itu. Korut telah berulang kali menolak tuduhan pelanggaran HAM dan menyalahkan sanksi atas situasi kemanusiaan yang mengerikan di negaranya.
Negara terisolasi itu menuduh Washington dan Seoul menggunakan masalah ini sebagai alat politik untuk merusak reputasi Pyongyang. Sebuah laporan penting PBB tahun 2014 tentang HAM Korut menyimpulkan bahwa kepala keamanan Korut dan mungkin pemimpin Kim Jong-un sendiri harus diadili karena mengawasi sistem kekejaman ala Nazi yang dikendalikan negara.
"Sejak itu, pembatasan virus korona Korut telah memperburuk pelanggaran hak asasi manusia," kata para penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka mengutip pembatasan tambahan pada akses ke informasi, keamanan perbatasan yang lebih ketat, dan peningkatan pengawasan digital.