Selasa 24 Jan 2023 17:39 WIB

Kelompok HAM Tuntut Jenderal Myanmar Atas Kasus Genosida di Pengadilan Jerman

Jenderal Myanmar dituntut atas tindakan memberangus permukiman Rohingya pada 2017.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Seorang fotografer dengan rompi pelindung merekam aksi protes antimiliter yang dibubarkan dengan gas air mata di Yangon, Myanmar, 3 Maret 2021.
Foto: AP Photo
Seorang fotografer dengan rompi pelindung merekam aksi protes antimiliter yang dibubarkan dengan gas air mata di Yangon, Myanmar, 3 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Kelompok hak asasi manusia (HAM) Fortify Rights dan 16 warga Myanmar mengajukan tuntutan pidana terhadap para jenderal Myanmar di pengadilan Jerman. Para jenderal dituntut atas tindakan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan ketika mengkudeta pemerintahan sipil Myanmar pada 2021 dan memberangus permukiman Rohingya pada 2017.

“Orang-orang yang bertanggung jawab atas tindakan kejahatan terkait keduanya (kudeta pemerintahan sipil dan penghancuran permukiman Rohingya) belum dimintai pertanggungjawaban,” kata Fortify Rights ketika mengumumkan tentang tuntutan terhadap para jenderal Myanmar di Bangkok, Thailand, Selasa (24/2/2023).

Baca Juga

Pengajuan tuntutan ke kantor kejaksaan federal Jerman dilakukan pada Jumat (20/1/2023) pekan lalu. Kantor kejaksaan Jerman nantinya harus memutuskan apakah akan mengajukan dakwaan sebelum perkara tersebut dibawa ke pengadilan, proses yang berpotensi memakan waktu cukup lama.

“Penyelidikan dan penuntutan selanjutnya atas kejahatan ini di bawah hukum Jerman akan berfungsi untuk menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan paling berat, mencegah kejahatan di masa depan oleh pelaku di Myanmar, dan memberi sinyal kepada calon pelaku lainnya di Myanmar serta di tempat lain bahwa pertanggungjawaban atas kejahatan kekejaman tidak dapat dihindari,” kata Fortify Rights.

Selain Fortify Rights, 16 warga Myanmar yang turut terlibat dalam pengajuan tuntutan adalah korban dari kebrutalan militer ketika mempersekusi etnis Rohingya di Rakhine pada 2017 dan menindak massa pengunjuk rasa penolak kudeta pada 2021. Menurut Fortify Rights, ke-16 warga Myanmar tersebut antara lain pelajar, sarjana, petani, mantan kepala desa, dan ibu rumah tangga. Mereka berasal dari berbagai kelompok etnis.

Salah satu pengadu adalah perempuan Rohingya berusia 51 tahun. Dia, yang identitasnya disembunyikan, telah kehilangan anggota keluarganya ketika militer melakukan penumpasan. “Militer Myanmar membunuh tujuh anggota keluarganya dalam serangan di desanya dan, dalam insiden terpisah, memotongnya dengan pisau, meninggalkan bekas luka permanen,” kata Fortify Rights tentang perempuan Rohingya tersebut.

Menurut Fortify Rights, perempuan tersebut menyaksikan bagaimana mayat penduduk Rohingya ditumpuk di desanya. Tentara tak hanya menikam dan membunuh pria, tapi juga banyak anak-anak. “Tentara (Myanmar) membunuh seorang anak ketika memohon air minum kepada mereka,” kata Fortify Rights.

Fortify Rights mengatakan, tuntutan ke kantor kejaksaan federal Jerman mencakup bukti substansial yang menunjukkan bahwa pejabat senior junta militer Myanmar menjalankan tanggung jawab atasan atas bawahan yang melakukan kejahatan. Pejabat senior militer dianggap mengetahui kejahatan bawahan mereka. Para petinggi militer pun dinilai gagal mengambil tindakan apa pun untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk menghukum pelaku-pelaku terkait.

Fortify Rights mengungkapkan, bukti yang diajukan dalam pengaduan termasuk wawancara dengan para penyintas, dokumen dan informasi yang bocor dari pembelot militer serta polisi Myanmar, dan laporan sebelumnya yang disusun oleh penyelidik PBB dan pihak lain. Sejauh ini kantor kejaksaan Jerman belum mengomentari pengaduan dari Fortify Rights dan 16 warga Myanmar.

Pengadilan Jerman menerapkan prinsip yurisdiksi universal dalam beberapa tahun terakhir. Menurun Matthew Smith, salah satu pendiri Fortify Rights, prinsip hukum memungkinkan penuntutan untuk kekejaman massal terlepas dari lokasi atau kebangsaan ketika pelanggarannya sangat parah sehingga mewakili kejahatan terhadap seluruh komunitas internasional.

Pengadilan Jerman pernah mengadili kasus penyiksaan yang dilakukan di penjara-penjara di Suriah dan kejahatan oleh kelompok teroris ISIS.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement