REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Terdapat sejumlah perkara yang membatalkan wudhu, bagaimana hukumnya ketika menyentuh kemaluan, apakah wudhu juga menjadi batal?
Dalam hal menyentuh kemaluan ketika memiliki wudhu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, para ulama berselisih pendapat tentang menyentuh zakar (kemaluan pria). Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama mewajibkan wudhu karenanya, bagaimanapun bentuk penyentuhan. Ini adalah pendapat dari Imam Syafii dan para pengikutnya, yakni Imam Ahmad dan Imam Dawud.
Sedangkan kelompok kedua sama sekali tidak mewajibkan wudhu karenanya. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pendahulu dari kalangan sahabat dan tabiin.
Adapun kelompok ketiga membedakan antara penyentuhan dengan kondisi tertentu dan penyentuhan dengan kondisi yang lain.
Dan mereka terbagi ke dalam beberapa golongan. Ada yang membedakan antara penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan dan penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan.
Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan, dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan.
Ada yang membedakan antara penyentuhan dengan bagian dalam telapak tangan dan penyentuhan bagian luar telapak tangan.
Kedua acuan tersebut diriwayatkan para pengikut Imam Malik. Dan dijadikannya bagian dalam telapak tangan sebagai acuan adalah karena ia merupakan penyebab kenikmatan.
Ada pula yang membedakan antara sengaja dan tidak sengaja. Mereka mewajibkan wudhu karena menyentuh dengan sengaja dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan tanpa sengaja.
Sekelompok ulama berpendapat bahwa berwudhu karena menyentuh zakar adalah sunah dan bukan wajib. Abu Umar berkata, "Inilah yang benar dari pendapat Malik, menurut para pengikutnya di Maghrib. Riwayat darinya memang tidak jelas."
Penyebab perbedaan pendapat mereka adalah adanya dua hadits yang saling sekilas tampak kontradiktif.
Hadits pertama adalah hadit yang diriwayatkan Busrah binti Shafwan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
من مس ذكره فليتوضأ "Apabila seorang dari kalian menyentuh zakarnya, maka hendaknya dia berwudhu." Ini adalah hadits yang paling terkenal yang berbicara tentang kewajiban berwudhu karena menyentuh zakar.
Yahya bin Main dan Imam Ahmad bin Hanbal menganggap hadits ini shahih. Sementara penduduk Kufah menganggapnya dhaif. Hadits yang semakna dengannya juga diriwayatkan Ummu Haibah dan dianggap sahih oleh Ahmad bin Hanbal.
Baca juga: Putuskan Bersyahadat, Mualaf JJC Skillz Artis Inggris: Islam Memberi Saya Kedamaian
Hadits kedua yang menentang hadis pertama adalah hadits Thalq bin Ali. Dia berkata:
عن طلق بن علي قال: قال رجل: مَسَستُ ذَكَرى - أو قال: الرجل يَمَسُّ ذَكَره في الصلاة - أعليه وضوء؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((لا، إنما هو بُضْعة منك))
"Kami datang kepada Rasulullah SAW ketika di sisi beliau ada seorang laki-laki yang tampaknya adalah orang Badui. Laki-laki itu berkata, 'Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang laki-laki yang menyentuh zakarnya setelah berwudhu?" Nabi pun bersabda, "Wa hal huwa illa bidh'atun minka." Yang artinya, "Apakah ia lebih dari sekadar sepotong daging pada tubuhmu?"
Hadits tersebut dianggap sahih oleh banyak ahli ilmu, baik dari Kufah maupun ulama dari wilayah lainnya.
Dijelaskan bahwa dalam menafsirkan hadits-hadits tadi, para ulama menganut salah satu dari dua metode. Yakni yang pertama, metode penimbangan (tarjih) atau penasakhan. Dan kedua, metode pengumpulan (aljamú).