Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Kemudahan memakai media sosial yang gratis dan bisa diakses oleh siapa saja, disalahgunakan oleh sejumlah pihak sebagai alat untuk menyebar berita bohong alias hoaks yang hingga saat ini, telah mencapai tahap yang memprihatinkan. Setidaknya ada tiga aplikasi media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks, yaitu Facebook sebesar 82,25 persen, WhatsApp 56,55 persen, dan Instagram sebesar 29,48 persen. Data tersebut merupakan riset yang dilakukan oleh DailySocial.id, sebuah blog teknologi asal Jakarta, yang bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform. Riset ini menanyakan tentang distribusi konten hoaks dalam platform digital terhadap 2.032 responden.
Seperti diberitakan oleh Kumparan.com, 22 Agustus 2018, riset ini mencatat masih banyak orang Indonesia yang tidak dapat mencerna informasi dengan sepenuhnya dan benar, tetapi memiliki keinginan kuat untuk segera membagikannya dengan orang lain. Sayangnya, beberapa informasi dapat membawa banyak interpretasi dan sudut pandang. Dari seluruh responden yang terlibat, riset ini mencatat sebanyak 44,19 persen responden mengaku tidak yakin mereka punya kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Sementara responden lainnya, sebesar 51,03 persen, memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya) ketika menemui konten hoaks. Riset ini juga mencatat ada 73 persen responden yang membaca seluruh informasi secara utuh. Namun, hanya sekitar 55 persen di antaranya yang selaku melakukan verifikasi (fact check) atas keakuratan informasi yang mereka baca.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza menilai, orang Indonesia mudah terpapar hoaks hingga rentan menjadi target penipuan di dunia maya. Pasalnya, Nadia mengatakan, orang Indonesia tidak memiliki kemampuan literasi digital yang mumpuni. Hal itu tak sebanding dengan tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia. Faktanya, masyarakat Indonesia cukup rawan terpapar hoaks dan salah informasi , terlibat dalam perundungan siber, serta menjadi target penipuan di dunia maya. Berdasarkan data dari Economist Intelligence Unit 2020, Indonesia berada di peringkat 61 dari 100 negara terkait dengan kesiapan menggunakan internet Posisi Indonesia lebih rendah dan tertinggal cukup jauh dari negara tetangga seperti Singapura (peringkat 22) dan Malaysia (peringkat 33). (Suara.com, 10 Oktober 2022).
Perpustakaan lebih dari sekedar kumpulan buku yang berjajar di rak. Perpustakaan adalah panduan informasi dan pengetahuan untuk mengarungi kehidupan. Mengelola kehidupan bumi dengan irama pengetahuan bukan lantunan kebencian seperti yang kita lihat banyak bertebaran di media sosial. Untuk itu perpustakaan perlu melakukan aksi untuk menyebarkan informasi sehat sekaligus melawan hoaks yang dihembuskan oleh siapa saja, dari mana saja, dan kapan saja.
Pustakawan sebagai salah satu agen informasi dan nyawa dari perpustakaan di negeri ini memiliki tiga aksi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Aksi pertama, meyebar informasi sehat. Perpustakaan adalah gudang informasi sehat yang tiada tara. Pengetahuan yang tersimpan dalam buku selama ini disebarkan dengan cara dipinjamkan kepada pemustaka. Ada alternatif lain untuk menyebarkan informasi sehat yaitu dengan membuat ringkasan dan telaah isi buku (tentu lebih dari sekedar abstrak) yang berjajar rapi di rak. Pustakawan bukan zamannya lagi hanya menunggu kedatangan pemustaka. Pustakawan bisa mengundang pemustaka untuk hadir di perpustakaan dengan menyebarkan pengetahuan yang selama ini tersimpan dalam buku.
Ringkasan informasi yang sudah ditelaah secara mendalam inilah yang nanti bisa disebarkan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp (WA), telegram dan media sosial lain. Pustakawan bisa memberi contoh nyata dalam menyebarkan informasi sehat dengan mencantumkan sumber informasi mulai dari judul buku, pengarang, dan penerbit buku. Saya bermimpi suatu saat yang menjadi viral di media sosial adalah informasi yang disebarkan oleh perpustakaan bukan yang lain. Sehingga ibarat hadits Nabi lebih bisa dipertanggungjawabkan keshahihan informasinya karena diriwayatkan dan ditulis oleh pihak yang memiliki kompetensi, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.
Hari ini banyak informasi yang beredar yang jika dianalogikan hadits Nabi mungkin berderajad lemah/dhaif. Karena penulisnya bukan dikenal kuat hafalan dan pemahamannya tentang pengetahuan. Boleh jadi pula penulisnya terkenal sebagai seorang pendusta yang suka memelintir informasi untuk kepentingan dirinya, politiknya, maupun golongannya saja. Ada tips kesehatan yang tidak ditulis oleh pakar kesehatan namun bisa tersebar luas karena mabuk informasi sang pemilik jari telunjuk. Belum dibaca sudah disebarkan hanya karena judul yang menarik saja. Jika informasi kesehatan yang disebar ternyata salah tentu banyak jiwa manusia yang terancam.
Media sosial kita saat ini sangat gaduh, bahkan lebih gaduh dari dunia nyata. Media sosial lebih berfungsi sebagai media pertarungan antar berbagai golongan yang terjun di dunia politik praktis. Menghujat mantan pemimpin dan menghina pemimpin yang sedang berkuasa adalah tradisi buruk sebuah peradaban. Berdebat kusir antar pendukung kontestan pilkada dan pilpres adalah informasi yang sangat tidak sehat bagi sebuah bangsa yang mengaku berbudi luhur.
Aksi kedua, menebar literasi informasi. Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia. Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.
Perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik masyarakat agar melek informasi. Tak sekadar bisa membaca informasi melainkan juga mampu menelaah, mengkaji, dan mencerna informasi sehingga menghasilkan nilai guna yang lebih besar bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Harapannya masyarakat tak sekedar suka membagikan informasi tetapi juga suka melakukan klarifikasi dengan mencari informasi pembanding. Jangan hanya menggali informasi dari satu pihak melainkan juga perlu menambah informasi dari berbagai pihak.
Aksi ketiga, melawan hoaks. Hoaks atau berita bohong yang tanpa sadar diterima dengan sukarela oleh seseorang dan disebarkan dengan sukarela pula menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki daya cerna terhadap suatu informasi. Hoaks adalah versi digital dari tradisi lisan yang biasa dikenal dengan nama bergunjing, ngrumpi, ngrasani, fitnah, hasutan dan mengolok-olok. Hoaks merupakan limbah informasi yang dihasilkan oleh pola komunikasi massa yang jauh dari budaya membaca (melek informasi) dan menderita mabuk teknologi.
Melawan hoaks tak cukup hanya dengan menebar spanduk deklarasi anti-hoaks. Orang Jawa menyebut fenomena ini sebagai "obor-obor blarak". Reaksi spontan terhadap suatu masalah yang hanya berlangsung dalam waktu yang singkat. Setelah itu tak ada tindak lanjut apapun. Setali tiga uang dengan ritual deklarasi gerakan membaca yang berjalan tak lebih lama dari waktu deklarasi. Jika hoaks dianggap suatu penyakit maka perlu diobati dengan suatu pengobatan yang tak hanya menghilangkan rasa sakit tetapi juga mampu menumpas sebab-musababnya. Hoaks adalah akibat bukan sebab. Penyebab timbulnya hoaks inilah yang harus dilawan dengan serius. Pangkal kebodohan ini adalah mengabaikan budaya baca. Melawan hoaks berarti harus ada upaya nyata untuk meningkatkan budaya membaca sekaligus budaya menulis. Hoaks terjadi karena budaya menulis amatiran yang tidak dilandasi oleh referensi yang memadai. Menulis asal menulis, membaca asal membaca dan asal membagikan tulisan merupakan biang keladi kebodohan.
Pustakawan masa kini adalah pustakawan yang menebar informasi sehat sekaligus melawan hoax. Bukan pustakawan yang mudah terpedaya oleh berita hoaks. Sehingga sejarah kelak akan mencatat dalam tajuk “Pustakawan Riwayatmu Kini” pustakawan adalah para pahlawan informasi sehat yang selalu berdiri di garda terdepan melawan hoaks.
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen