Jumat 10 Feb 2023 15:51 WIB

Tekad Bulat Danareksa "Mereboisasi" Kawasan Industri

Danareksa siap memanfaatkan energi baru terbarukan untuk menurunkan emisi karbon.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
PT Kawasan Industri Medan, anggota sub-holding Danareksa.
Foto: Danareksa
PT Kawasan Industri Medan, anggota sub-holding Danareksa.

REPUBLIKA.CO.ID, OLEH DEDY DARMAWAN NASUTION 

Meski belum genap setahun, Holding BUMN Danareksa telah menyiapkan sejumlah strategi konkret dalam mentransformasi kawasan industri hijau melalui enam perusahaan sub-holding. Di tengah tantangan yang tak mudah, perseroan meyakini transformasi hijau bakal memberikan nilai tambah dan mendulang profit. 

Baca Juga

Danareksa mencatat, penerapan industri hijau selama tahun 2021 mampu memberikan penghematan energi dan air masing-masing sebesar Rp 3,2 triliun dan Rp 169 miliar. Industri hijau sekaligus menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk mengurangi emisi karbon hingga 29 persen pada 2030.  

Direktur Investasi Danareksa, Chris Soemijantoro, mengatakan, kawasan industri holding di bawah perseroan kini tengah bertransformasi menuju kawasan industri yang smart, modern, dan green sesuai prinsip environmental, social, and governance (ESG) berkelanjutan. 

"Ini merupakan komitmen dan bentuk dukungan terhadap industri yang ramah lingkungan," kata Chris kepada Republika.co.id, awal pekan ini. 

Perlu diketahui, enam kawasan industri yang tergabung di bawah Holding Danareksa di antaranya PT Kawasan Industri Medan, PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung, PT Kawasan Berikat Nusantara, PT Kawasan Industri Makassar, PT Surabaya Industrial Estate Rungkut, serta PT Kawasan Industri Wijayakusuma.

Selaku induk holding, Chris memastikan Danareksa bakal mengawal akselerasi penggunaan energi yang efisien dan efektif melalui standar minimum infrastruktur kawasan industri. Itu langsung dikomandoi oleh project management officer (PMO) khusus di tiap kawasan.

Adapun, akselerasi itu ditempuh dari pembuatan sistem pengelolaan limbah dengan infrastruktur modern hingga digitalisasi di berbagai lini. Seperti misalnya, penggunaan tenant apps, smart meter yang terkoneksi melalui internet of things (IoT), serta command center. 

"Infrastruktur yang sedang digalakkan ini dikhususkan untuk pengelolaan limbah padat dan cair serta bahan berbahaya dan beracun," katanya. 

Tak lupa, Chris mengingatkan, pengolahan limbah dalam kawasan industri pun harus mengacu pada konsep sirkular ekonomi agar menjadi nilai tambah sebagai industri bersih.

Selain efisiensi dan manajemen limbah, Danareksa juga telah siap memulai pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk menurunkan emisi gas karbon. Salah satu yang terdekat yakni penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Juga tak menutup kemungkinan sumber energi lain seperti air, angin, maupun biogas. 

"Pemanfaatan EBT ini dapat menjadi new recurring income melalui carbon trading dan penurunan beban energi," paparnya. 

Chris lantas mengungkapkan, Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) menjadi salah satu contoh konkret kawasan yang sudah mengusung konsep energi hijau. Kawasan itu kini telah memiliki water waste treatment plant (WWTP) yang mampu mengolah air limbah menjadi air bersih layak minum. 

SIER juga sudah memiliki tempat pengolahan sampah reuse, reduce, recycle yang bisa menampung limbah dari dalam maupun luar kawasan. "Disamping itu, SIER telah membangun instalasi solar panel dan sudah menggunakan mobil listrik untuk kegiatan operasional kawasan," jelasnya. 

Namun, langkah kanan Danareksa dalam melakukan transformasi kawasan industri hijau bukan tanpa tantangan. Diperlukan sumber daya manusia sekaligus penelitian dan pengembangan secara baik. 

"Dukungan pemerintah dari sisi fiskal dan non-fiskal juga sangat dibutuhkan. Diperlukan adanya peta jalan sebagai pedoman dunia usaha dan para pemangku kepentingan lainnya," kata Chris. 

Selain itu, kebutuhan akan investasi untuk merealisasikan kawasan industri hijau dinilai cukup besar. Namun, ia meyakini soal kebutuhan investasi bisa diatasi lewat sinergi antar holding, kemitraan, serta pembiayaan dana internal kawasan industri dan pihak ketiga.

Direktur Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian, Heru Kustanto, menambahkan, pemerintah sangat mendorong baik pelaku industrinya maupun pengelola kawasan industri untuk mulai bertransisi ke industri hijau. 

Namun, untuk saat ini Kemenperin fokus mendorong transisi bagi sektor-sektor industri yang membutuhkan banyak energi. "Ini jadi tantangan buat kami untuk bagaimana bisa mensosialisasikan eco industrial park. Paling tidak mereka mengenali dulu konsepnya, dan nantinya itu bisa memperbaiki kinerja industri," kata Heru kepada Republika.co.id. 

Senada dengan Chris, Heru menekankan, selain penggunaan energi bersih, kawasan industri hijau harus bisa menerapkan ekonomi sirkular. Secara praktis, limbah atau sisa energi yang dihasilkan satu industri dapat dimanfaatkan industri lain dalam satu kawasan dan memberikan nilai tambah. 

"Contohnya, pemanfaatan energi panas yang dihasilkan dalam kawasan, itu bisa dipakai untuk apa, sehingga tidak terbuang tapi termanfaatkan. Ini yang masih belum terjadi," jelasnya. 

Memang diakui Heru belum ada insentif fiskal yang disiapkan khusus bagi kawasan industri yang mau bertransisi. Namun, ia memastikan pemerintah siap memberikan insentif berupa nonfiskal. 

"Kita lebih banyak memberi fasilitas insentif nonfiskal. Baik penghargaan, apresiasi dan kita juga bisa membawa ke pameran internasional bagi yang bisa menerapkan eco industri," katanya.  

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Denny Yuartha, berpendapat, tantangan pengembangan industri hijau ada pada faktor pembiayaan. Dari sisi pemerintah, instrumen yang dapat dipakai untuk mendukung pembiayaan industri bisa melalui belanja langsung, surat utang, maupun insentif. 

Denny menjelaskan, alokasi belanja pemerintah untuk pembangunan rendah karbon nyatanya menjadi yang paling kecil, bahkan sangat kecil. Karena itu, instrumen pembiayaan melalui belanja langsung tidak dapat banyak berperan. 

Sementara jika mengandalkan instrumen surat utang, nyatanya sejauh ini belum digunakan untuk membiayai industri rendah karbon. Sasaran utama surat utang masih seputar keperluan sektor kesehatan maupun perluasan akses internet. Oleh karena itu, instrumen yang efektif digunakan untuk mendukung pembiayaan industri hijau hanya melalui insentif. 

Denny mencatat, sebetulnya pemerintah sudah banyak memberikan insentif untuk kawasan, seperti Kawasan Ekonomi Khusus maupun kawasan industri. Namun, harus diakui belum spesifik untuk praktik-praktik industri hijau seperti tax holiday, tax allowance, PPh DTP, hingga PPN. 

"Ke depan insentif yang masif itu dapat diberlakukan lebih spesifik untuk pengembangan teknologi yang mendukung industri bersih sehingga pemerintah konsisten," katanya. 

Menurutnya, selama kebijakan pemerintaj tidak konsisten dan masih lebih berat dukungan kepada industri fosil, efisiensi yang dicita-citakan melalui pembangunan kawasan industri hijau akan menemui jalan terjal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement