REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy (CIPS) menilai pemerintah perlu meninjau kembali peran Bulog dalam rantai pasok beras untuk memastikan efektivitasnya dan menciptakan pasar beras yang tidak rentan terhadap fluktuasi harga.
"Salah satu kesulitan yang dihadapi Bulog adalah harga pembelian pemerintah (HPP) yang kurang fleksibel dan tidak relevan dengan harga pasar," kata Peneliti CIPS, Hasran, dalam keterangan resminya diterima Republika, Senin (13/2/2023).
Keterlibatan Bulog terlibat di tingkat hulu dan hilir dalam rantai pasok beras ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016. Masalah muncul karena di tingkat hulu, Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani. Tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya.
Sementara itu, Bulog menggunakan biaya pemerintah saat bersaing dengan pihak swasta dalam pengadaan beras. Penugasan untuk menjaga stok nasional memunculkan biaya tambahan yang tidak sedikit.
Walaupun beras dikonsumsi di seluruh wilayah Indonesia, tapi produksinya terkonsentrasi di Jawa. Data BPS 2021 menyebut pada 2020, produsen utama beras di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan total produksi Gabah Kering Giling (GKG) masing-masing sejumlah 9,94 juta ton, 9,48 juta ton dan 9,01 juta ton.
Perdagangan beras yang timbul akibat perbedaan ongkos produksi beras di setiap wilayah menjadi tidak terhindarkan. Bersaing dengan swasta akan selalu membuat Bulog menjadi pihak yang merugi karena swasta bisa menawarkan harga beras yang lebih tinggi kepada petani dan meminta kualitas beras yang lebih baik.
Terkait tingginya harga beras saat ini, Bulog mengklaim telah mendistribusikan sekitar 180 ribu ton beras sepanjang Januari 2023 untuk menjaga agar harga tetap terkendali. Namun nyatanya, operasi pasar beras yang diintensifkan sejak awal tahun tidak banyak berdampak pada penurunan harga beras, terbukti dengan tingginya harga beras di tingkat konsumen. Masalahnya terletak pada panjangnya jalur distribusi dari Bulog ke konsumen.
Hasran memaparkan, penelitian CIPS merekomendasikan adanya revisi pada Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 8 poin c, d, dan e untuk membuka peluang bagi Bulog agar fokus melindungi keluarga pra sejahtera melalui program bantuan bencana.
Di sisi lain, ia menilai pembatasan impor juga perlu dilonggarkan dengan menghapuskan hambatan kuantitatif untuk impor beras dan menghapus monopoli Bulog untuk mengimpor beras kualitas menengah seperti yang tertera di Permendag Nomor 103 Tahun 2015 pasal 9.