Selasa 14 Feb 2023 20:51 WIB

Komnas HAM Kritik Penjatuhan Vonis Mati

Komnas HAM berpendapat penegakan hukum harus meminimalisir hukuman mati.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Terdakwa Ferdy Sambo bersiap menjalani sidang vonis kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dengan hukuman mati.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Ferdy Sambo bersiap menjalani sidang vonis kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ferdy Sambo dengan hukuman mati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM mensinyalkan tak sepakat dengan hukuman mati terhadap eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Ferdy Sambo. Komnas HAM menilai sudah saatnya hukuman mati tak lagi diterapkan sebagai pidana pokok. 

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro sepakat mengenai hukuman berat terhadap Ferdy Sambo. Apalagi Sambo melakukan penyalahgunaan kewenangan sebagai penegak hukum. Namun ia mensinyalkan hukuman mati bukanlah hukuman yang tepat. 

Baca Juga

"Nah terkait kejahatan yang dilakukan FS itu kan memang kejahatan serius, bukan kejahatan dalam arti seperti yang dijelaskan oleh hakim, pembunuhan berencana tetapi dia menggunakan kewenangannya sebagai aparat penegak hukum untuk melakukan obstruction of Justice. Tentu itu harus mendapatkan hukuman yang berat. Nah itu jadi dua hal yang menjadi perhatian kami. Bahwa penyalahgunaan kewenangan itu harus dihukum berat," kata Atnike saat ditemui wartawan pada Selasa (14/2). 

Atnike berharap penerapan hukuman mati di Tanah Air dapat berkurang di kemudian hari. Sebab kalau ada kesalahan dalam vonis hukuman mati yang sudah dieksekusi maka nyawa terpidana terlanjur hilang tanpa bisa diperbaiki.

"Komnas HAM tetap berpandangan dalam konteks penggunaan pengamatan memang Indonesia ke depan harus menuju pada upaya meminimalisir penggunaan hukuman mati. Karena itu irreversible ya. Apabila terjadi kesalahan dalam putusan, kesaksian, itu gak bisa diperbaiki," ujar Atnike. 

Atnike merujuk KUHP baru yang tak lagi membuat hukuman mati sebagai pidana pokok. Hanya saja, KUHP baru belum berlaku saat vonis Sambo.  "Bahwa sebetulnya penggunaan hukuman mati sebagai pidana pokok itu dalam hukum pidana Indonesia itu sudah, sekarang sudah diubah, berdasarkan KUHP yang baru. Tapikan KUHP yang baru itu baru enforceable, nanti sekitar 3 tahun lagi," ujar Atnike.

Di sisi lain, Atnike menyadari betapa kompleksnya kasus pembunuhan terhadap Brigadir J. Sehingga ia tetap mengucapkan bela sungkawa terhadap keluarga Brigadir J. 

"Kami menyadari betapa pelik dan kompleksnya kasus ini, yang melibatkan begitu banyak orang ya. Jadi kami juga memberikan belasungkawa juga tentunya kepada keluarga korban yang tentu merasakan kehilangan dan trauma luar biasa kepada kasus ini ya," ucap Atnike.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bersalah terdakwa Ferdy Sambo karena melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J), Senin (13/2).

Sambo juga divonis bersalah atas perbuatannya melakukan perintangan penyidikan terkait kematian Brigadir J di Duren Tiga 46. Atas vonis tersebut, majelis hakim menghukum Sambo dengan pidana mati. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement