REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia pada Selasa (14/2/2023), dengan keras menolak klaim presiden Moldova tentang dugaan rencana Moskow menggulingkan pemerintahannya. Rusia menuduh otoritas Moldova mencoba mengalihkan perhatian publik dari masalah domestik negara itu sendiri.
Presiden Moldova Maia Sandu mengatakan pada Senin (13/2/2023), plot yang diklaim Rusia membayangkan serangan terhadap gedung-gedung pemerintahnya. Dan ia menyebut penyanderaan dan tindakan kekerasan lainnya oleh kelompok penyabotase untuk menempatkan negaranya menjadi sasaran Rusia dan menggagalkan harapan Moldova untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Menanggapi tuduhan itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova pada Selasa (14/2/2023), menolak klaim tuduhan Sandu itu. Ia mengatakan apa yang disampaikan sama sekali tidak beralasan dan tidak berdasar.
“Mereka dibangun dengan semangat cara klasik yang sering digunakan Amerika Serikat, negara Barat lainnya, dan Ukraina,” kata Zakharova. “Pertama, tuduhan dibuat dengan mengacu pada informasi intelijen rahasia yang konon tidak dapat diverifikasi, dan kemudian digunakan untuk membenarkan tindakan ilegal mereka sendiri," tambahnya.
Tuduhan Sandu itu disampaikan sepekan setelah tetangganya Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan negaranya telah mencegat rencana dinas rahasia Rusia untuk menghancurkan Moldova. Pejabat intelijen Moldova kemudian membenarkan tuduhan tersebut.
Namun Zakharova menuduh pihak berwenang Ukraina membuat klaim tentang rencana Rusia yang dipakai untuk mengacaukan Moldova, ketika negara itu akan menarik diri dalam konfrontasi dengan Rusia. Dia berargumen, otoritas Moldova menggunakan mitos tentang ancaman Rusia untuk mengalihkan perhatian warga Moldova dari masalah internal yang diakibatkan oleh bencana sosial-ekonomi pemerintahan saat ini.
Tuduhan itu, kata Zakharova juga dipakai untuk meningkatkan perjuangan politik, melawan perbedaan pendapat dan lawan politik Pemerintah Moldova yang berkuasa saat ini. Zakharova menegaskan,Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi Moldova dan justru berharap Moldova mengembangkan kerja sama saling menguntungkan dengan Rusia.
Sejak pasukan Rusia masuk ke Ukraina hampir setahun lalu, Moldova, bekas republik Soviet berpenduduk sekitar 2,6 juta orang, berusaha menjalin hubungan lebih dekat dengan mitra Baratnya, Uni Eropa. Juni lalu, status kandidat keanggotaan UE diberikan, pada hari yang sama dengan Ukraina.
Pada Desember, badan intelijen nasional Moldova memperingatkan, Rusia dapat melancarkan serangan baru dengan tujuan menciptakan koridor darat melalui Ukraina selatan ke wilayah Transnistria, daerah yang didukung Moskow untuk memisahkan diri dari Moldova.
Transnistria memisahkan diri setelah perang saudara 1992 tetapi tidak diakui sebagian besar warga negara Moldova. Moldova membentang lebih kurang 400 kilometer (250 mil) dari tepi timur Sungai Dniester ke perbatasan negara dengan Ukraina. Sementara itu, Rusia menempatkan sekitar 1.500 tentara sebagai “penjaga perdamaian” di wilayah Transnistria yang ingin memisahkan diri dari Moldova.