Senin 20 Feb 2023 15:09 WIB

Risiko Stunting Meningkat Pada Bayi Prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah

Indonesia menempati peringkat lima angka kelahiran prematur dan BBLR.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas menimbang berat badan bayi di Puskesmas Karawaci Baru, Kota Tangerang, Banten, Rabu (13/5/2020). Bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah berisiko mengalami stunting.
Foto: FAUZAN/ANTARA FOTO
Petugas menimbang berat badan bayi di Puskesmas Karawaci Baru, Kota Tangerang, Banten, Rabu (13/5/2020). Bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah berisiko mengalami stunting.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bayi dengan kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah (BBLR) berisiko tinggi mengalami tengkes alias stunting. Berkaca dari data, Indonesia menempati peringkat lima angka kelahiran prematur dan BBLR.

Dari 100 bayi yang lahir, terdapat 10 bayi lahir secara prematur dan tujuh di antaranya dengan kondisi BBLR. Mengutip sebuah penelitian di 137 negara berkembang, dokter anak konsultan neonatologi Prof Rinawati Rohsiswatmo mengatakan bahwa 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

Baca Juga

Sementara itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, bayi dengan berat lahir rendah memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia. Itu artinya, kejadian tengkes disumbang sepertiga oleh kelahiran prematur.

"Jadi bayi prematur 15,5 persen atau sekitar 675 ribu, kalau sepertiganya sekitar 225 ribu setahun," ungkap Prof Rina dalam Media Briefing Fresenius Kabi "Kontribusi Rumah Sakit Dukung Aksi Integrasi Percepatan Penurunan Prevalensi Tengkes", di Jakarta, Senin (20/2/2023).

Prof Rina menjelaskan bayi prematur adalah semua bayi yang lahir pada usia kandungan atau gestasi di bawah 37 minggu. Bayi prematur dibagi dalam beberapa kategori.

Jika usia kandungan 35 sampai 36 disebut late preterm, prematur yang mendekati usia lahiran cukup bulan. Namun, ada pula yang sangat ekstrem di bawah usia kandungan 28 minggu dan seterusnya.

"Makin kecil usia kehamilannya, itu lebih repot. Banyak sekali masalah. Bagaimana dengan risiko tengkesnya? Pasti lebih ruwet," jelasnya.

Prof Rina mengatakan bayi di dalam kandungan tumbuh dengan pesat. Misalnya, usia kandungan 26 minggu beratnya sekitar 800 gram (normal) dan dalam waktu 10 minggu sudah menjadi tiga kilogram.

Kenaikan berat badannya empat sampai lima kali lipat. Dalam kehidupan manusia normal, tidak ada kenaikan bobot empat kali lipat selama 10 minggu.

Prof Rina mengatakan, di masa prematur itu, bayi harus mengejar dulu ketertinggalan pertumbuhannya. Setelah itu, mereka baru bisa mengikuti pertumbuhan bayi lain yang sudah cukup bulan.

"Karena bayi prematur harus lari kencang dulu atau sprint dulu dalam masa ketinggalan karena lahir lebih cepat. Jadi double burden buat dia," ungkap Prof Rina.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement