REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penganiayaan yang dilakukan putra salah satu pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berdampak panjang Rafael Alun Trisambodo. Gaya hidup mewah para pegawai pajak pun disorot.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, ada risiko penurunan kepatuhan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP). Berbagai masalah yang terjadi di DJP, kata dia, berdampak ke kepatuhan formal terutama pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP).
"Tapi jangan lupa kalau Anda lapor SPT PPh OP akan kena sanksi. Kalau masyarakat ingat dan sadar kalau ada sanksi kalau tak lapor SPT, maka dampaknya akan terbatas," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (27/2/2023).
Meski berisiko kepatuhan menurun, namun sambungnya, tidak akan mengurangi target penerimaan pajak. Sebelumnya ia mengatakan, Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang mencapai Rp 56 miliar sulit diterima oleh nalar jika dari penghasilannya sebagai pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Hanya saja menurutnya, sumber harta tidak hanya dari situ. "Kekayaan seseorang tidak hanya dari penghasilannya sebagai karyawan. Melainkan juga ada warisan dari orang tua misalnya," ujar dia.
Ia menilai, kewajaran kekayaan yang dimiliki RAT perlu dibuktikan. Kuncinya, kata dia, ada pada asas praduga tidak bersalah. "Kita lihat hasil pemeriksaan Kemenkeu (Kementerian Keuangan) saja. Kabarnya KPK juga akan bicara soal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) RAT," tuturnya.
Guna mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang pegawai pajak, lanjut dia, memang perlu penguatan internal DJP. Ditambah ada mekanisme whistle blower atau sistem pengaduan.