REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Iran menghadapi krisis atas dugaan peracunan massal yang menargetkan para siswi. Pihak berwenang mengakui, jumlah sekolah yang mengalami peracunan pada Ahad (5/3/2023) bertambah menjadi 50 sekolah.
Dugaan peracunan ini telah menyebarkan ketakutan di kalangan orang tua, karena Iran telah menghadapi kerusuhan nasional selama beberapa bulan terakhir. Sejauh ini pihak berwenang Iran belum mengetahui pelaku yang bertanggung jawab atas insiden peracunan massal ini.
Dugaan peracunan dimulai pada November 2022 di Kota suci Syiah, Qom. Laporan saat ini menunjukkan, dugaan peracunan telah menyebar ke sekolah di 21 provinsi dari total 30 provinsi di Iran. Dugaan peracunan ini menargetkan sekolah anak perempuan.
Serangan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa siswi lain dapat menjadi target peracunan selanjutnya. Pendidikan untuk anak perempuan tidak pernah ditentang selama lebih dari 40 tahun sejak Revolusi Islam 1979. Iran telah menyerukan kepada Taliban di Afghanistan untuk mengizinkan perempuan kembali ke sekolah dan universitas.
Menurut laporan kantor berita IRNA, Menteri Dalam Negeri Ahmad Vahidi pada Sabtu (4/3/2023) mengatakan, penyelidik menemukan sampel mencurigakan dalam penyelidikan mereka atas insiden tersebut. Namun Vahidi tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai penemuan sampel itu. Dia menyerukan agar masyarakat tetap tenang. Dia juga menuduh "terorisme media musuh" menghasut lebih banyak kepanikan atas dugaan peracunan.
Vahidi mengatakan, setidaknya 52 sekolah telah terkena dugaan peracunan. Sementara laporan media Iran telah menyebutkan jumlah sekolah yang mengalami insiden dugaan peracunan mencapai lebih dari 60. Setidaknya satu sekolah anak laki-laki dilaporkan telah terkena dampak.
Setelah dugaan peracunan mendapat perhatian media internasional, Presiden Iran, Ebrahim Raisi mengumumkan penyelidikan atas insiden tersebut pada Rabu (1/3/2023). Dia menggambarkan dugaan serangan itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena menciptakan kecemasan di kalangan siswa dan orang tua. Dia menekankan bahwa akar peracunan harus diungkap dan dihadapi.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan para siswi menerima perawatan medis ruang gawat darurat, dengan infus di tangan mereka. Sementara para orang tua meluapkan kekesalan atas insiden yang dialami oleh anak perempuannya.
Anak-anak yang terkena keracunan dilaporkan mengeluh sakit kepala, jantung berdebar-debar, merasa lesu atau tidak bisa bergerak. Beberapa siswi menggambarkan bahwa mereka mencium aroma jeruk keprok, klorin, atau bahan pembersih yang berbau.
Laporan menunjukkan setidaknya 400 anak sekolah telah jatuh sakit sejak November. Vahidi mengatakan, dua siswi masih dirawat di rumah sakit karena kondisi kronis yang mendasarinya.
Video yang diunggah di media sosial memperlihatkan anak-anak mengeluh tentang rasa sakit di kaki, perut, dan pusing. Media pemerintah menyebut keluhan mereka ini sebagai "reaksi histeris". Sejak dugaan peracunan massal muncul, tidak ada yang dilaporkan dalam kondisi kritis dan tidak ada laporan korban jiwa.
Serangan terhadap perempuan telah terjadi di masa lalu di Iran. Pada 2014, terjadi gelombang serangan air keras di sekitar Kota Isfahan. Pada saat itu, serangan tersebut diyakini dilakukan oleh kelompok garis keras yang menargetkan wanita karena cara mereka berpakaian.
Spekulasi di media pemerintah Iran yang dikontrol ketat berfokus pada kemungkinan kelompok pengasingan atau kekuatan asing berada di balik dugaan peracunan itu. Dalam beberapa hari terakhir, menteri luar negeri Jerman, seorang pejabat Gedung Putih, dan pejabat lainnya telah meminta Iran untuk bertindak melindungi para siswi. Namun, Komisi untuk Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat (AS) mencatat, Iran terus mentolerir serangan terhadap perempuan dan anak perempuan selama berbulan-bulan di tengah protes nasional baru-baru ini.
"Peracunan ini terjadi di sebuah lingkungan di mana pejabat Iran memiliki impunitas atas pelecehan, penyerangan, pemerkosaan, penyiksaan, dan eksekusi perempuan secara damai yang menegaskan kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka," kata Sharon Kleinbaum dari komisi tersebut dalam sebuah pernyataan.
Iran menaruh kecurigaan bahwa dugaan peracunan itu dilakukan oleh kelompok ekstremis. Mantan anggota parlemen reformis terkemuka, Jamileh Kadivar, di surat kabar Ettelaat Teheran, telah mengutip komunike dari sebuah kelompok yang menamakan dirinya Fidayeen Velayat. Kelompok ini konon mengatakan bahwa pendidikan anak perempuan dianggap terlarang. Mereka mengancam akan menyebarkan peracunan terhadap anak perempuan di seluruh Iran jika sekolah perempuan tetap dibuka.
Para pejabat Iran belum mengakui kelompok apa pun termasuk Fidayeen Velayat, yang secara kasar diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "Devotees of the Guardianship." Namun, Kadivar menyebutkan ancaman di media cetak karena dia tetap berpengaruh dalam politik Iran dan memiliki ikatan dengan kelas penguasa teokratisnya. Pemimpin surat kabar Ettelaat juga ditunjuk oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Kadivar juga mencatat, kelompok garis keras di pemerintahan Iran pada masa lalu melakukan pembunuhan berantai terhadap para aktivis dan lainnya pada tahun 1990-an. Ketika itu, korban dirajam sampai mati, sementara korban lainnya diikat dan dilempar ke kolam renang hingga tewas tenggelam. Kadivar menggambarkan kelompok itu sebagai anggota Basij, pasukan sukarelawan di Garda Revolusi Iran.
“Penyebut umum dari mereka semua adalah pemikiran ekstrem, stagnasi intelektual, dan pandangan religius yang kaku yang memungkinkan mereka melakukan tindakan kekerasan seperti itu,” tulis Kadivar dalam artikel di surat kabar Ettelaat pada Sabtu (4/3/2023).