Senin 06 Mar 2023 18:26 WIB

Pemimpin Tertinggi Iran Sebut Dugaan Peracunan Terhadap Siswa Perempuan Disengaja

Pelaku peracunan harus dihukum mati karena melakukan kejahatan yang tak termaafkan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada Senin (6/3/2023) mengatakan, serangkaian dugaan peracunan di sekolah perempuan terbukti disengaja. Dia menegaskan bahwa pelakunya harus dihukum mati karena melakukan kejahatan yang tak termaafkan.
Foto: EPA-EFE/IRANIAN SUPREME LEADER OFFICE
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada Senin (6/3/2023) mengatakan, serangkaian dugaan peracunan di sekolah perempuan terbukti disengaja. Dia menegaskan bahwa pelakunya harus dihukum mati karena melakukan kejahatan yang tak termaafkan.

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, pada Senin (6/3/2023) mengatakan, serangkaian dugaan peracunan di sekolah perempuan terbukti disengaja. Dia menegaskan, pelakunya harus dihukum mati karena melakukan kejahatan tak termaafkan.

Ini pertama kalinya Khamenei, yang memiliki keputusan akhir tentang semua urusan negara, berbicara secara terbuka tentang dugaan peracunan. Dugaan peracunan ini dimulai akhir tahun lalu dan telah membuat ratusan anak sakit.

Baca Juga

Dalam beberapa pekan terakhir, pejabat Iran mengakui ada dugaan peracunan. Namun mereka tidak memberikan perincian tentang siapa yang mungkin berada di balik serangan itu atau bahan kimia apa yang digunakan. Tidak seperti negara tetangga Afghanistan, Iran tidak memiliki sejarah ekstremis agama yang menargetkan pendidikan perempuan.

"Jika peracunan siswa terbukti, mereka yang berada di balik kejahatan ini harus dihukum mati dan tidak akan ada amnesti bagi mereka," kata Khamenei, dikutip kantor berita IRNA yang dikelola pemerintah.

Pihak berwenang mengakui, dugaan serangan peracunan terhadap siswa perempuan di lebih dari 50 sekolah di 21 dari 30 provinsi Iran sejak November. Menteri Dalam Negeri Iran Ahmad Vahidi mengatakan, sampel mencurigakan telah dikumpulkan penyelidik. Dia meminta masyarakat tetap tenang dan menuduh musuh negara menghasut rasa takut untuk merusak Republik Islam Iran.

Vahidi mengatakan, setidaknya 52 sekolah terkena dampak keracunan yang dicurigai. Sementara laporan media Iran menyebutkan, jumlah sekolah lebih dari 60. Setidaknya satu sekolah anak laki-laki dilaporkan telah terkena dugaan peracunan.

Iran telah memberlakukan pembatasan ketat pada media independen sejak pecahnya protes nasional pada September, sehingga sulit untuk menentukan sifat dan ruang lingkup dugaan peracunan.

Pada Senin, media Iran melaporkan, pihak berwenang menangkap seorang jurnalis yang berbasis di Qom, Ali Pourtabatabaei, yang secara teratur melaporkan dugaan peracunan.  Surat kabar garis keras Kayhan dalam sebuah tajuk rencana menyerukan penangkapan penerbit surat kabar yang menerbitkan artikel tentang krisis kritis terhadap teokrasi Iran.

Para siswa perempuan yang keracunan dilaporkan mengeluh sakit kepala, jantung berdebar-debar, merasa lesu, atau tidak bisa bergerak.  Beberapa menggambarkan telah mencium semacam aroma jeruk, klorin, atau bahan pembersih yang berbau.

Laporan menunjukkan, setidaknya 400 anak sekolah jatuh sakit sejak November. Vahidi mengatakan, dua anak perempuan masih dirawat di rumah sakit karena kondisi kronis yang mendasarinya. Sejauh ini belum ada korban jiwa yang dilaporkan.

Video yang diunggah di media sosial pada Ahad (4/3/2023) memperlihatkan anak-anak mengeluh tentang rasa sakit di kaki, perut, dan pusing.  Media pemerintah terutama menyebut, keluhan rasa sakit ini sebagai "reaksi histeris".

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendokumentasikan fenomena serupa di Afghanistan dari 2009 hingga 2012, ketika ratusan gadis di seluruh negeri mengeluhkan bau aneh dan keracunan. Tidak ada bukti yang ditemukan untuk mendukung kecurigaan tersebut. WHO mengatakan, fenomena itu merupakan “penyakit psikogenik massal”.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement