Rabu 08 Mar 2023 05:15 WIB

Petugas Medis, Guru, dan Orang Tua Siswi di Iran Diminta Bungkam Soal Dugaan Peracunan

Staf medis dan guru menuduh pejabat pemerintah berusaha membungkam para korban.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Iran telah mengalami lonjakan dugaan serangan peracunan di sekolah perempuan di seluruh negeri dalam beberapa hari terakhir.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Iran telah mengalami lonjakan dugaan serangan peracunan di sekolah perempuan di seluruh negeri dalam beberapa hari terakhir.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran telah mengalami lonjakan dugaan serangan peracunan di sekolah perempuan di seluruh negeri dalam beberapa hari terakhir. Staf medis dan guru menuduh pejabat pemerintah berusaha membungkam para korban.

Orang tua korban telah melakukan protes atas insiden peracunan tersebut. Pasukan keamanan dilaporkan menembakkan gas air mata ke arah kerumunan pengunjuk rasa pada Ahad (5/3/2023) di Ibu Kota, Teheran.  Video media sosial menunjukkan pasukan keamanan membubarkan protes.

Baca Juga

CNN berbicara dengan empat sumber medis yang merawat para siswa yang diyakini telah diracun. Termasuk seorang guru dari sekolah yang terkena dampak dan empat orang tua korban. Mereka semua mengklaim mendapatkan tekanan untuk tidak membicarakan masalah tersebut.

Seorang dokter yang telah merawat beberapa siswa yang terkena dampak mengatakan kepada CNN, dia meyakini ponselnya sedang diawasi. Dokter yang enggan menyebutkan namanya itu, beserta tiga sumber medis lainnya mengatakan, administrator rumah sakit memerintahkan mereka untuk tidak berbicara di depan umum tentang masalah peracunan ini. Mereka menggambarkan langkah tersebut sebagai kampanye pembungkaman yang diatur oleh pemerintah.

Pada Ahad (5/3/2023) video yang beredar di media sosial menunjukkan beberapa siswi menerima perawatan medis di rumah sakit Yazd, di Iran tengah. "Sekolah swasta diserang gas. Semua anak kesulitan bernapas. Ini negara kita. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan," kata perempuan yang merekam video itu.  

Menteri Dalam Negeri Iran, Ahmad Vahidi mengatakan, sejauh ini pihak berwenang belum melakukan penangkapan terkait dugaan peracunan itu. Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita Tasnim pada Sabtu (4/3/2023) Vahidi mengatakan, zat mencurigakan telah diidentifikasi sehubungan dengan insiden tersebut.

"Dalam penyelidikan lapangan oleh badan terkait, telah ditemukan sampel yang mencurigakan, yang sedang diperiksa di laboratorium untuk mengidentifikasi penyebab komplikasi pada siswa. Hasilnya akan diumumkan secepatnya oleh Kementerian Kesehatan," kata Vahidi, dilaporkan CNN, Senin (6/3/2023).

Vahidi juga menegaskan prioritas utama pemerintah adalah kesehatan para pelajar. Spekulasi beredar di antara anggota parlemen Iran karena serentetan dugaan serangan mendominasi berita utama. Presiden garis keras Iran Ebrahim Raisi menyalahkan insiden itu pada musuh Iran yang bertujuan untuk memicu kerusuhan di negaranya. Raisi tidak secara langsung menyebutkan siapa "musuh" itu. Kendati demikian, Teheran biasanya menuduh Amerika Serikat dan Israel.

"Baru-baru ini, musuh yang telah mengatur dan mengobarkan perang psikologis dan media di Iran berusaha untuk melemahkan keamanan Iran dengan harapan dapat menciptakan suasana keputusasaan dengan mengobarkan ketidakamanan dan ketakutan dalam masyarakat Iran," kata Raisi.

Amerika Serikat (AS) dan PBB telah meminta otoritas Iran untuk menyelidiki sepenuhnya dugaan peracunan dan meminta pertanggungjawaban para pelaku yang terlibat. Namun Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengkritik seruan pemerintah Barat tersebut. Dia menyebut Barat telah "meneteskan air mata buaya" atas dugaan peracunan massal itu.

Para pemimpin Iran secara tradisional menolak kritik terhadap pembatasan yang diberlakukan terhadap perempuan. Pada pertemuan dengan gubernur Qom awal Februari, seorang siswi mengatakan dia telah diracun dua kali. Siswi yang berbicara dengan syarat anonim itu mengatakan, pemerintah berusaha mengaburkan insiden peracunan massal tersebut.

"Mereka (para pejabat) memberi tahu kami, 'Semua baik-baik saja, kami telah melakukan penyelidikan.'  Tetapi ketika ayah saya bertanya di sekolah saya, mereka mengatakan, 'Maaf, CCTV telah mati selama seminggu dan kami tidak dapat menyelidikinya',"  kata siswi itu, dilaporkan BBC, Selasa (28/3/2023).

"Dan ketika saya diracun untuk kedua kalinya, kepala sekolah berkata, 'Dia memiliki penyakit jantung, itu sebabnya dia dirawat di rumah sakit.'  Tapi kenyataannya, saya tidak punya penyakit jantung," ujar siswi tersebut menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement