REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kendala distribusi pangan antardaerah dinilai masih menjadi permasalahan utama di sektor pangan dalam negeri. Akibat distribusi yang belum teratasi dengan baik, harga pangan menjadi naik hingga berdampak pada kenaikan laju inflasi.
Pakar pertanian Jafar Hafsah mengatakan, Indonesia memiliki wilayah yang luas namun hanya memiliki sedikit lahan pertanian di daerah-daerah tertentu. Hal itu menjadi tantangan bagi pemerintah untuk bisa menyiapkan bahan pangan dengan harga terjangkau secara merata ke seluruh wilayah. Itu tak terjadi hanya untuk beras, namun juga komoditas pangan pokok lainnya seperti jagung, bawang, cabai, ternak sapi, hingga sawit yang menjadi bahan baku minyak goreng.
"Manajemen pangan. Bagaimana mendistribusikan itu karena biasanya terganggu oleh persoalan seperti iklim dan biaya transportasi yang selalu bertambah. itu sebabnya harga pangan lebih tinggi dari harga-harga internasional," kata Jafar dalam sebuah diskusi publik "Manajemen Pengendalian Harga Menjelang Ramadhan" pada Rabu (8/3/2023).
Jafar mengakui, memecahkan masalah pemerataan distribusi pangan bukan perkara mudah. Namun, pemerintah tetap dituntut untuk bisa menyiapkan bahan pangan yang mudah dijangkau oleh penduduk Indonesia. Tak hanya soal pasokan namun harga yang rendah.
"Pemerintah wajib siapkan ketersediaan pangan yang terjangkau dan bisa dibeli karena pangan ini bagian terpenting dari kebutuhan dasar," katanya.
Salah satu contoh harga pangan di Indonesia yang lebih mahal dari harga internasional yakni seperti pada komoditas beras. Laporan Bank Dunia, Indonesia Economic Prospect (IEP) pada Desember 2022 menyebut harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dibandingkan harga beras Filipina.
Selain itu, harga beras di Indonesia juga disebut dua kali lipat lebih tinggi dari harga beras di Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Bank Dunia pun menilai tingginya harga beras di Indonesia turut menjadi salah satu pendorong dari kenaikan inflasi pangan domestik.
"Rantai pasokan yang panjang dan tingginya biaya distribusi, sebagian karena geografi yang kompleks juga menaikkan harga pangan bagi konsumen di negara tersebut," kata laporan Bank Dunia.
Dosen Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menuturkan, inflasi di bulan Ramadhan tahun ini setidaknya akan dipicu oleh dua faktor. Pertama, dikarenakan adanya tekanan peningkatan permintaan pasca daya beli masyarakat yang mulai pulih di saat produksi pangan belum mampu mengimbangi. Selanjutnya faktor kedua, hasil produksi pangan tidak memenuhi kebutuhan nasional karena rantai pasok yang masih dikuasai segelintir orang.
Oleh sebab itu, Handi mengatakan, pemerintah harus menempuh sejumlah langkah konkret agar dapat meredam laju inflasi pangan di bulan Ramadhan. Upaya pertama yang dapat dilakukan yakni dengan mempertebal pasokan pangan alam rangka stabilisasi harga.
"Ini bisa dilakukan dengan menggunakan produksi dalam negeri serta impor secara presisi sesuai permintaan," kata Handi.
Langkah selanjutnya yakni dengan optimalisasi kebijakan dua persen anggaran daerah untuk subsidi angkut bahan pangan antar daerah. Selain itu, bantuan sosial dari anggaran daerah juga perlu didorong agar stabilitasi harga bisa dicapai pemerintah.
"Koordinasi stakeholder dalam bentuk kerja Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) perlu dioptimalkan, langkah membentuk task force atau sales motorist untuk memaksimalkan proses distribusi produki selama Ramadhan," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah juga harus terus melakukan monitoring terhadap tata niaga pangan. Oknum spekulan harga yang berburu keuntungan dari rantai suplai yang dikuasai segelintir kelompok harus ditertibkan. "Mereka acap kali menjadi pemicu (kenaikan harga) di luar hukum ekonomi supply and demand," kata dia.
Terakhir, yakni dengan antisipasi cuaca yang sering mengalami perubahan, terutama di sentra-sentra produksi.