REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron pada Kamis (16/3/2023) memerintahkan perdana menterinya untuk menggunakan kekuatan konstitusional khusus untuk mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) terkait reformasi pensiun. Penggunaan kekuatan konstitusional khusus ini dapat mengesahkan RUU tanpa melalui pemungutan suara di parlemen.
Risikonya, langkah Macron ini dapat memicu keributan di kalangan anggota parlemen. Langkah sepihak Macron akan memicu gerakan mosi tidak percaya terhadap pemerintahannya.
Kemarahan anggota parlemen oposisi menggemakan kemarahan warga dan serikat pekerja. Ribuan orang berkumpul di Place de la Concorde menghadap Majelis Nasional, sambil menyalakan api unggun. Saat malam tiba, polisi menyerbu para demonstran secara bergelombang untuk membubarkan mereka. Sekelompok kecil pengunjuk rasa yang diusir bergerak melalui jalan-jalan terdekat dengan membakar jalan. Polisi mengatakan, sedikitnya 120 orang ditahan atas insiden tersebut.
Adegan serupa berulang di banyak kota lain, dari Rennes dan Nantes hingga Lyon dan kota pelabuhan selatan Marseille. Menurut media Prancis jendela toko dan bagian depan bank dihancurkan. Sementara kelompok kiri radikal dipersalahkan atas setidaknya sebagian dari kehancuran tersebut.
Serikat pekerja mengorganisir pemogokan dan pawai sejak Januari. Mereka meninggalkan Paris tumpukan sampah yang berbau. "Reformasi pensiun ini brutal, tidak adil, tidak dapat dibenarkan untuk dunia pekerja,” kata para pengunjuk rasa.
Macron telah menjadikan perubahan pensiun sebagai prioritas utama untuk masa jabatan keduanya. Macron berpendapat reformasi diperlukan untuk menjaga sistem pensiun dari defisit karena Prancis menghadapi tingkat kelahiran yang lebih rendah dan harapan hidup yang lebih lama.
Macron memutuskan untuk menggunakan kekuatan khusus selama rapat Kabinet di Istana Kepresidenan Elysee. Keputusan ini berlangsung beberapa menit sebelum pemungutan suara yang dijadwalkan di majelis rendah parlemen Prancis. Macron tidak memiliki jaminan mayoritas di parlemen.
"Hari ini, ketidakpastian membayangi tentang apakah mayoritas akan memilih RUU tersebut. Kita tidak bisa bertaruh pada masa depan pensiun kita. Reformasi itu diperlukan," ujar Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne.
Borne mengatakan, pemerintahnya akan bertanggung jawab kepada parlemen. Anggota parlemen dapat mencoba untuk mencabut perubahan melalui mosi tidak percaya.
“Benar-benar akan ada pemungutan suara yang tepat dan oleh karena itu demokrasi parlementer akan mengambil keputusan terakhir,” kata Borne.
Dalam sebuah wawancara pada Kamis malam di stasiun televisi TF1, Borne tidak marah ketika berbicara kepada anggota parlemen yang berbicara dengan tidak sopan. “Beberapa (anggota parlemen oposisi) menginginkan kekacauan, di Majelis dan di jalan-jalan,” katanya.
Anggota parlemen oposisi menuntut pemerintah mundur. Seorang anggota parlemen Komunis menyebut kekuasaan presiden sebagai "guillotine" politik. Sementara oposisi lain menyebut pemerintah melakukan langkah “penolakan demokrasi” yang menandakan kurangnya legitimasi Macron.
Marine Le Pen mengatakan partai sayap kanan National Rally akan mengajukan mosi tidak percaya. Sementara anggota parlemen Komunis Fabien Roussel juga menyatakan hal serupa.
“Mobilisasi akan berlanjut. Reformasi (pensiun) ini harus ditangguhkan," kata Roussel.
Mosi tidak percaya diperkirakan akan diluncurkan pada awal minggu depan, dan membutuhkan persetujuan lebih dari setengah Majelis. Jika lolos, maka mosi tidak percaya ini akan menjadi yang pertama sejak 1962. Namun jika mosi tidak percaya tidak berhasil, maka RUU pensiun akan dianggap diadopsi.