REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zainur Mahsir Ramadhan
Warga Marunda Pulo, Jakarta Utara, Zaharaeni (41 tahun) hanya bisa pasrah dengan cemaran debu batubara ke rumahnya setiap waktu. Tinggal di belakang batas laut dan cerobong asap yang mengeluarkan debu atau partikel bahan bakar batubara, dia mengaku memang mendapat banyak keluhan.
Saat Republika mengunjungi kediamannya yang dihuni tiga kepala keluarga lain, di balik tanggul NCICD, ibu dua anak itu menunjukkan debu batubara di tiap-tiap sudut rumahnya. “Kalau malam makin banyak ini. Dikumpulin di gelas bisa jadi kopi deh. Tapi kan ini baunya bikin nyesek,” keluh Zaharaeni, belum lama ini.
Dia bercerita, sejak dulu memang sudah tinggal di rumah tersebut. Namun, sempat mengontrak di Bekasi hingga akhirnya kembali ke rumah orang tuanya itu karena desakan ekonomi.
“Sekarang yang di Bekasi suami saya, kerja serabutan. Di rumah ini ada sepuluhan orang,” kata dia.
Beranjak beberapa ratus meter dari sana, di Rusun Marunda, juga tak lepas dari kepungan polusi debu batubara. Termasuk polusi kendaraan dari Jalur Tengkorak (Marunda-Cilincing) yang menjadi akses hingga keterbatasan lainnya yang berdampak kepada kemiskinan.
Menurut Pengurus Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) Cecep Supriadi, polutan debu dan limbah batubara menjadi satu masalah di Rusunawa Marunda.
“Padahal kemiskinan di sini juga sudah parah. Dari 2019, lebih lama bahkan, banyak warga yang gak bisa bayar iuran rusun,” kata Cecep.
Dia menjelaskan, warga yang mayoritas pedagang atau penarik ojek hanya bisa menghidupi kebutuhan sehari-hari. Soal solusi untuk kesejahteraan yang layak, dia justru menyinggung banyaknya polusi debu batubara yang masih mengancam warga.
“PT KCN memang sudah ditutup. Tapi pemerintah lupa masih ada yang lain. Gak ada perbaikan ekonomi sampai sekarang.
Menyoal kemiskinan di Jakarta Utara, Kepala Bagian Umum BPS DKI Jakarta, Suryana, mengatakan, memang ada kenaikan kemiskinan ekstrem di Ibu Kota hingga medio tahun lalu.
Menurutnya, dari angka 0,6 persen penduduk di tahun sebelumnya, menjadi 0,89 persen atau peningkatan sekitar 0,29 persen pada 2022. Dia memerinci, angka terbaru itu mencakup 95.668 jiwa penduduk DKI hingga Maret 2022.
Menurut Suryana, daerah paling banyak kemiskinan ekstrem di Jakarta ada di Utara. Namun demikian, tak dirinci lokasi mana saja atau faktor hingga kriteria bagaimana yang tergolong miskin ekstrem.