REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok memaksa sebagian besar keluarga Suriah melupakan makanan yang biasa mereka beli dalam jumlah besar untuk menemani mereka selama puasa Ramadhan.
Rezim Suriah telah menghentikan intervensi apa pun dalam penetapan harga komoditas, membiarkannya ditetapkan oleh pengecer sesuai dengan biaya, karena nilai tukar pound Suriah terhadap dolar terus anjlok.
Ekonom Suriah Abdulnaser Aljasem mengatakan Ramadhan tahun ini adalah yang terberat bagi warga Suriah, dengan pasar melawan semua persamaan ekonomi biasa. “Meskipun permintaan menurun dan kelebihan pasokan, namun harga tidak turun dan justru kami melihat kenaikan setiap harinya,” kata Aljasem, dilansir dari The New Arab, Jumat (24/3/2023).
Dia mengatakan ini terjadi bahkan setelah sanksi ekonomi terhadap rezim dibekukan setelah gempa mematikan yang melanda Turki dan Suriah pada Februari. “Harga tinggi, tidak adanya pemantauan, dan stagnasi pasar adalah tiga faktor yang mengatur pasar Suriah,” tambahnya.
“Institusi rezim selama dua bulan terakhir telah menarik intervensi apa pun di pasar untuk memastikan harga barang bersaing,“ katanya.
Spiral penurunan pound Suriah yang Senin lalu turun menjadi sekitar 7.550 pound per dolar, sementara biaya hidup rata-rata untuk keluarga beranggotakan lima orang, berdasarkan Indeks Biaya Hidup Kassioun adalah lebih dari 4 juta pound Suriah (530 dolar). Upah minimum hanya 92.970 pound.
Aljasem memperkirakan harga akan naik lebih lanjut selama Ramadhan meskipun Ketua Federasi Kamar Dagang Suriah Mohammed Abu Al-Huda Al-Lahham, mengklaim harga hanya akan naik selama menjelang Ramadhan dan minggu pertama setiap bulan, sebelum jatuh karena permintaan turun.
Kepala Asosiasi Perlindungan Konsumen Abdulaziz Al-Maqaali memperkirakan harga akan naik 15 persen selama Ramadhan. Mengatakan kepada surat kabar pro-rezim Al-Watan bahwa harga telah naik 45 persen sejak awal 2023.
Keluarga Suriah bahkan tidak bisa membeli barang-barang seperti kentang dalam jumlah besar, setelah penarikan Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Perlindungan Konsumen dari perannya dalam melindungi harga. Mereka meminta kementerian untuk turun tangan menekan lonjakan harga yang dibutuhkan konsumen.
“Situasi warga Suriah sangat buruk. Tidak banyak keluarga yang mampu mempersiapkan diri, seperti yang akan mereka lakukan di masa lalu, dengan membeli kebutuhan untuk bulan yang penuh berkah,” kata Luay Shubat, seorang pensiunan dari lingkungan Dummar di Damaskus.
"Misalnya, satu kilogram kurma, salah satu makanan yang selalu ada di bulan Ramadhan, harganya antara 50 ribu dan 100 ribu pound untuk jenis kurma berkualitas tinggi. Ini adalah gaji sebulan! Demikian pula, produk susu telah menjadi barang mewah,” tambahnya.
Keluarga tidak dapat lagi mengandalkan kebutuhan pokok sebagai alat menurunkan pengeluaran rumah tangga di tengah harga yang meroket, pendapatan yang sedikit, dan biaya yang terus meningkat yang tidak dimiliki kebanyakan orang Suriah, seperti sewa rumah bagi mereka yang kehilangan rumah.
Pemadaman listrik yang berlangsung hampir sepanjang hari juga menyebabkan makanan yang disimpan di lemari es menjadi busuk. Ekonom mengatakan daya beli warga Suriah hampir tidak cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi sehari-hari mereka, sementara memasok satu komoditas, seperti keju, makdous (acar terong Suriah yang merupakan menu sarapan populer), atau selai, sekarang akan menghabiskan biaya satu keluarga lebih dari biaya penghasilan bulanan mereka.