Kamis 06 Apr 2023 22:14 WIB

Thrifting dan Mindfullness

Banyak orang yang asal beli, asal murah.

Foto kolase deretan pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2/2023). Penjualan baju impor bekas masih banyak diminati masyarakat karena selain harganya lebih murah, secara kualitas juga masih layak pakai. Harga setiap pakaian dijual mulai dari Rp30.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung kualitas dan merek.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Foto kolase deretan pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2/2023). Penjualan baju impor bekas masih banyak diminati masyarakat karena selain harganya lebih murah, secara kualitas juga masih layak pakai. Harga setiap pakaian dijual mulai dari Rp30.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung kualitas dan merek.

Oleh : Lida Puspaningtyas, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, "Ayo kak! apa kakak mau berusaha? cuma lima ribu lho kak!," kata seorang pedagang di salah satu kios Pasar Senen saat saya lewat beberapa pekan lalu, tepat sebelum polemik thrifting dimulai.

Ia merujuk pada tumpukan bal baju bekas yang menggunung di lantai. Berjalan diantara kios-kios Pasar Senen itu saja sudah sangat sulit. Ini ada tumpukan baju berserakan dan orang-orang banyak yang mengerumuninya sedang 'berusaha'.

"Ayo murah aja murah aja, tiga puluh ribu aja dapat baju bagus," kata pedagang yang berteriak dari kios lain. Teriakan yang sama juga menggema dari tempat lain. Riuh yang unik dan menggelitik.

Saya berhenti di satu kios yang menjual baju-baju bekas anak. Lihat-lihat, terus pusing. Terlalu banyak dan terlalu malas mencari.

"Ayo kak murah aja, cari apa?," kata sang pedagang pada saya.

"Lihat-lihat saja," kataku sambil tersenyum.

"Ayo mau cari apa? semua ada," katanya.

"Hehehe iya mas, pusing," kata saya.

"Pusing nggak punya uang ya, murah aja lho ini, kalau nggak punya uang jangan ke pasar," katanya.

Saya agak kaget sih mendengar responsnya, dan cuma bisa tertawa saja. Baju-bajunya memang sangat murah. Celana jeans anak merk terkenal asal Jepang saja harganya cuma Rp 30 ribu, lima kali lipat dari aslinya.

Dalam hati saya menggerutu, mau semurah apa pun kalau tidak butuh buat apa dibeli?

Dalam beberapa pekan terakhir, saya coba menyelami apa yang salah dari thrifting saat ini. Karena dulu, aktivitas reuse ini sudah sangat booming dan dipandang sangat positif, selaras dengan upaya menyelamatkan Bumi.

Itu menjadi salah satu alasan seseorang menjadi penggemar thrifting. Entah itu dalam rangka temporer atau permanen, pasar thrifting selalu ada. Satu yang pasti, seharusnya setiap orang paham apa tujuan mereka melakukannya dan mindfull.

Impor baju bekas ilegal nilainya bisa Rp 100 triliun setiap tahun. Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki bilang, berdasarkan analisis data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata potensi nilai impor pakaian ilegal atau unrecorded dalam lima tahun terakhir mencapai hampir Rp 100 triliun per tahun.

Itu dinilai membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lokal merugi.

"Industri pakaian lokal kita jelas terpukul dengan masuknya pakaian impor ilegal ini. Bayangkan porsinya itu mengisi 31 persen pasar domestik kita. Sementara produk pakaian impor dari China porsinya 17,4 persen," kata Teten di Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Nilai itu naik berkali-kali lipat dalam beberapa tahun terakhir. Potensi nilai impor pakaian ilegal pada 2018 mencapai Rp 89,37 triliun. Setahun berikutnya menembus Rp 89,06 triliun dan melonjak hingga Rp 110,28 triliun pada 2020.

Kemudian pada 2021 dan 2022 masing-masing mencapai Rp 103,68 triliun dan Rp 104,41 triliun. Menurut data BPS, nilai impor baju bekas melonjak hingga 607,6 persen (yoy) pada Januari hingga September 2022.

Kenapa bisa naik? Tentu karena permintaannya meningkat. Jika dirunut, kenaikan demand ini bisa jadi karena semakin banyak orang yang thrifting atau banyak orang yang asal beli, asal murah, tanpa mindfullness. Butuh tidak butuh beli asal murah.

Alasan pertama yang dikeluhkan pemerintah dari thrifting adalah sampah. Dalam satu bal, baju yang layak jual mungkin tidaklah banyak. Dari sisi muamalah atau bisnis syariah, seharusnya menjadi peringatan karena gharar detected. Sisa yang tidak layak akan jadi sampah.

Dari sisi pembeli, baju yang dibeli tanpa jadi kebutuhan pun akan berakhir jadi sampah. Kemana itu mindfullness dalam bertransaksi?

Ekonomi syariah menekankan setiap muamalah haruslah dilakukan dengan sadar dan pertimbangan, terhindar dari aksi impulsif. Way of life yang ditawarkan adalah maqashid syariah. Menjaga lima hal penting yang jadi tolak ukur mindfullness.  Pengelolaan keuangan yang dikejar juga adalah keberkahan. Dan berkah bisa dicapai dengan mindfullness.

Siapa tahu, saat semua orang sadar dengan aktivitasnya, tidak asal beli, bertanggung jawab dengan transaksinya, maka tingkat permintaan yang muncul adalah permintaan riil menumbuhkan ekonomi dan membawa berkah, tidak merugikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement