Sekitar 1.000 jamaah mendatangi tanah lapang di belakang stasiun kereta api Kramat, 17 Januari 1934 pagi. Sebagian besar membawa koran Pemandangan. Pada 16 Januari 1934, koran itu memuat pengumuman pelaksanaan Shalat Idul Fitri di tanah lapang itu yang akan diadakan pada 17 Januari 1934.
Koran Pemandangan yang mereka bawa ke tanah lapang pagi itu tentu saja bukan untuk dibaca, melainkan untuk alas shalat. Istilah shalat saat itu tentu belum akrab. Sebutannya adalah sembahyang. Sembahayang Lebaran atau Sembahyang Aidilfitri.
Pemandangan edisi 19 Januari 1934 menulis:
Oentoek peringkaskan tempat sembahjang, soeat kabar “Pemandangan” telah mendjadi pertolongan. Sebagian besar mereka jang hendak sembahjang disitoe membawa soerat kabar ini oentoek ganti tikar sembahjang.
Ini adalah kali pertama shalat Id di tanah lapang diadakan di Batavia oleh Muhammadiyah, setelah berkali-kali pengajuan izin tiap tahunnya ditolak pemerintah. Di Yogyakarta, Shalat Id di tanah lapang telah dilakukan Muhammadiya sejak 1927. Koran De Locomotief edisi 5 Januari 1935 menurunkan catatan dr GF Pijper yang mencatat Shalat Id pada 1927 itu diikuti oleh sekitar 10 ribu jamaah. Tapi saat itu, jamaah perempuan belum ikut shalat di tanah lapang ini. Saat itu, Muslimah Muhammadiyah telah memiliki masjid khusus perempuan. Di tanah lapang Kramat, jamaah perempuan ikut Shalat Id.
Haji Ghozali tampil sebagai imam Sembahyang Lebaran di tanah lapang Kramat itu, yang dikenal pula Lapangan Kepanduan Bangsa Indonesia. Zaini Djambek bertindak sebagai khatib. Zaini Djambek berkhutbah di depan pengeras suara, sehingga suaranya bisa didengar oleh seluruh jamaah.
Priyantono Oemar