Rabu 26 Apr 2023 18:16 WIB

Negara Miskin Semakin Rentan Gelombang Panas Ekstrem

Afghanistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah jadi titik panas yang beresiko tinggi

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Penelitian terbaru menemukan gelombang panas yang berbahaya akan terus meningkatkan selama krisis iklim semakin intensif.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penelitian terbaru menemukan gelombang panas yang berbahaya akan terus meningkatkan selama krisis iklim semakin intensif.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Penelitian terbaru menemukan gelombang panas yang berbahaya akan terus meningkatkan selama krisis iklim semakin intensif. Sejumlah negara dan daerah akan mengalami dampak yang menghancurkan.

Ilmuwan menganalisa data suhu dan model-model iklim selama 60 tahun lebih untuk mengkalkulasi kemungkinan panas ekstrem dan di mana akan terjadi. Mereka mengidentifikasi Afghanistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah termasuk Guatemala, Honduras, dan Nikaragua sebagai "titik panas" yang beresiko tinggi mengalami gelombang panas.

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications, daerah-daerah ini sangat rentan karena pertumbuhan populasi yang cepat dan terbatasnya akses layanan kesehatan dan pasokan energi. Sehingga mengurangi daya tahan terhadap suhu ekstrem.

"Terdapat bukti daerah-daerah itu mungkin mengalami gelombang panas besar dan mereka tidak siap menghadapinya," kata profesor atmosfir di University of Bristol dan salah satu penulis penelitian tersebut, Dann Mitchell seperti dikutip dari CNN, Rabu (26/4/2023).

Mitchell mengatakan resiko yang dihadapi Afghanistan yang paling parah. Tidak hanya karena gelombang panas yang tembus rekor tapi dampaknya akan memperburuk kesulitan yang sudah dihadapi negara itu.

Laporan tersebut mengatakan Afghanistan sudah kesulitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Pertumbuhan populasi negara itu juga cepat sehingga menambah masalah terbatasnya sumber daya.

"Ketika panas ekstrem akhirnya datang, maka akan segera menimbulkan banyak masalah," kata Mitchell.

Gelombang panas memiliki berbagai dampak negatif. Seperti mengurangi kualitas udara, memperparah kekeringan, meningkatkan resiko kebakaran hutan dan merusak infrastruktur.

Gelombang panas juga berdampak pada kesehatan manusia dan salah satu bencana alam paling mematikan. Serangan panas atau heat stroke dapat memicu berbagai gejala seperti pusing, sakit kepala, mual dan membuat pingsan.

Menurut Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) AS, heat stroke menimbulkan gejala paling serius di antara penyakit yang berhubungan dengan cuaca panas. Serangan panas dapat meningkatkan suhu tubuh tiba-tiba dalam hitungan menit dan mengarah pada disabilitas atau kematian.

Pada tahun ini beberapa daerah telah mengalami suhu udara panas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pada Maret lalu suhu udara di sebagian Argentina naik 10 derajat Celcius dari suhu normal. Pada awal April sebagian wilayah di Asia juga melaporkan panas tidak biasa.

"Gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya peristiwa yang hanya akan semakin intensif selama dunia masih membakar bahan bakar fosil," kata ilmuwan iklim Imperial College London, Friederike Otto yang tidak terlibat dalam penelitian suhu udara terbaru.

Laporan penelitian itu mengatakan tidak ada tempat yang aman dari gelombang panas "yang tidak masuk akal dalam statistik" atau di luar norma sejarah. Termasuk gelombang panas Pasifik Barat Laut 2021, di mana suhu udara tidak hanya memecahkan rekor tapi juga menewaskan ratusan orang.

Suhu udara di Lytton, British Columbia mencapai 50 derajat Celcius pada Juni 2021 lalu. Memecahkan rekor sebelumnya hampir 5 derajat. Sebuah desa hampir rata oleh kebakaran hutan yang terjadi beberapa hari kemudian.

Ilmuwan mengatakan peristiwa itu hampir tidak mungkin terjadi tanpa perubahan iklim. Laporan penelitian terbaru mengatakan sebagian Cina termasuk Beijing dan negara-negara Eropa seperti Jerman dan Belgia juga menghadapi resiko gelombang panas.  

Jutaan orang yang tinggal di pemukiman padat penduduk dapat terkena dampak gelombang panas bila negara-negara itu tidak memiliki sumber daya untuk memitigasi dampak terburuk gelombang panas.

Laporan itu mendesak pemerintah di seluruh dunia bersiap menghadapi peristiwa gelombang panas di luar catatan suhu saat ini. Seperti mendirikan pusat-pusat ruangan pendingin dan mengurangi kerja di luar ruangan. Otto mengatakan banyak kebijakan pemerintah yang dapat menyelamatkan nyawa.

"(Seperti) mempersiapkan rencana penanggulangan gelombang panas, memastikan dan menguji implementasinya, memberitahu masyarakat tentang gelombang panas yang segera terjadi, dan melindungi masyarakat yang rentan pada dampak gelombang panas," kata Otto.

Peneliti dari Harvard University Lucas Vargas Zeppetello mengatakan peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya semakin sering terjadi selama dunia masih membakar bahan bakar fosil. Penelitian Zeppetello pada 2022 lalu menemukan panas dalam tingkat berbahaya naik tiga kali lipat di seluruh dunia pada akhir abad ini.

"Berdasarkan definisinya, kami tidak apa yang dapat terjadi bila populasi besar terpapar tekanan panas dan kelembaban yang tidak terjadi sebelumnya, tapi gelombang panas di beberapa dekade terakhir sudah sangat mematikan dan terdapat kekhawatiran serius untuk masa depan," kata Zeppetello. n Lintar Satria

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement